20.

36 8 1
                                    

-Nura pov-

Aku hanya menginginkan kebahagiaanku, tidak lebih dari itu dan biarkan aku menjalaninya nanti. Melupakan perasaan itu urusanku, mengapa banyak orang yang peduli dengan hubunganku ini, aku yang akan menjalaninya, aku yang percaya bahwa lelaki yang datang dengan sabar itu adalah calon imam terbaik ku.

Aku ingin memulai cinta setelah aku resmi menikah dengannya, karena aku akan menjadi miliknya seutuhnya tentunya. Entah mengapa, hanya itu yang aku inginkan. Aku tidak lagi menggebu-gebu dengan masalaluku, bertemu dengannya saja memang menyakitiku, sampai pada akhirnya aku mengerti bahwa, arti dari perasaan sakit itu hanyalah sebuah rasa penasaran saja mengapa dia meninggalkanku dengan sekejam itu.

Dulu Aku terlalu percaya diri bahwa Umar pun hanya akan bahagia denganku, namun aku tertampar kenyataan bahwa dia bisa bahagia, dia bisa membuat kebahagiaannya dengan keluarga barunya, empat orang anak.. itu adalah anugerah yang terindah bagi keluarganya. Amanah besar itu, di peluknya dengan kepercayaan dan cinta yang begitu besar. Lalu, aku yang masih sendiri bagaimana? Tanpa aku sadari aku mencintai Ivan, seiring berjalannya waktu.

Namun, sesaat hubungan kami sudah terarah, sudah pasti akan mendapatkan kebahagiaan dari satu sama lainnya, kendala itu tiba. Permintaan yang sangat di luar nalar itu cukup menganggu.

Saat aku kembali berhadapan dengan Umar, anehnya tidak ada perasaan yang seperti dulu, apakah karena aku kecewa? Atau karena sudah terlalu lama terganti dengan kehadiran Ivan yang selalu ceria dan selalu menemaniku. Setelah aku menerima Ivan, pikiranku, hatiku, duniaku terfokus padanya.

Mungkin Ivan tidak merasakan hal itu, sampai-sampai ia rela melepaskan aku. Jika aku tidak jadi menikah dengan Ivan, aku akan pergi sejauh mungkin, tidak akan ada orang yang akan tahu dimana aku, aku akan pamit dan meminta ijin mereka pergi dan tolong jangan mencariku, itu yang akan aku lakukan.

Melihat Ivan mengatakan hal itu, aku tahu dia merasa berat dan sedih, tapi tidakah dia berpikir bahwa aku tidak berniat mempermainkan perasaannya, aku tulus dengan segenap perasaanku, aku mencintainya aku ingin hidup bersamanya. Haruskah aku kumpulkan    Umar dan Mbak Nesha lalu aku katakan aku mencintai Ivan? Bukankah itu kekanak-kanakan sekali?
Tidak cukupkah penolakanku selama ini?

Mengingat Nesha, apa sebegitu pengaruhnya keberadaanku dalam keluarganya, sampai seorang gadis kecil berkata padaku, "Kata ibu, Tante akan menjadi ibu kami? Bisakah tante menyayangi kami seperti ibu?" Mendengar hal itu Nesha sudah pasti menanam diriku dalam benak mereka, benak gadis kecil cantik bernama Mahira. Saat itu aku hanya terdiam menatapi gadis kecil itu, rambutnya ku giring kebelakang telinganya sambil berkata.
"Ibu tetap lah ibu, tidak akan ada yang menyamai kasih sayangnya, kasih sayang seorang ibu itu berbeda-beda"

Mahira anak yang pandai, dia sangatlah dewasa, ke khawatirannya sebagai seorang anak yang tahu bahwa ibunya dalam keadaan tidak baik-baik saja, ia mampu menahan diri untuk tidak menangis, serta selalu menjadi penenang bagi Nesha, Nesha membesarkan Mahira dengan sangat baik.

Kulihat layar ponselku, tepangpang fotoku dengan Ivan yang sangat ceria, kami sedang berbahagia saat itu, namun sekarang? Kami tengah di hadapkan dengan sebuah kenyataan dimana Ivan, kekasihku itu tengah perlahan mundur dari perjuangannya mendapatkan ku, aku dalam posisi tidak di perjuangkan, aku merasakan hal itu kali ini, namun hal itu yang malah membuatku semangat berjuang demi cintaku, ya!! Aku harus kobarkan semangat api cinta membaraku!

Ku beranikan diri untuk menghubungi Ivan lebih dulu. Dengan satu tarikan napas seperti akan berucap ijab kabul, aku mengangkat jempol tanganku, dan mengetik. Melihat layar kosong itu aku seperti dan mencoba mengetik, jujur itu membuatku merinding, apakah dia akan membalas pesanku? Jangan kan membalas!! Pesan saja belum aku ketik dan belum aku kirim.

Apa yang harus aku tanyakan? Apakah bertanya "Ayang?!" Ah tidak mungkin.. kami kini sedang perang dingin. Aku benar-benar gegana, gelisah, galau, merana jika begini. Huh!! Ingin mengeluh mengapa situasi ini aku dapatkan, aku tidak berpikir akan mendapatkan situasi yang begitu menjengkelkan begini.

Aku ingat!
Baiknya aku mengirimkan pesan sebuah kata mutiara? Aihh.. apakah tidak lebay? Sekalian saja kata emas atau berlian, tidak perlu mutiara-mutiara.

"Ivan, aku mencintaimu...!"

Aku akan mengirim pesan itu. Ya! Itu yang akan aku lakukan, setidaknya jika ia tidak oon, dia tahu arti kata mencintai sesungguhnya. Ku kirim pesan itu, namun belum ada balasan. Jelas! Dia bukan pria yang sedang bucin, yang 24 jam matanya menempel di layar ponsel.

Grrrdd grrrrdd...
Getar ponselku, aku segera membuka pesan, benar! Itu dari Ivan. Waaah! Cepat sekali ternyata.

"Aku juga" jawaban yang sangat random! Aaaah, bagaimana ini. Jelas aku tahu dia juga sama. Ternyata Ivan oon!

"Apa kamu merasakannya?"

Aku harus bertanya sebab, mungkin bagi sebagaian pria ia hanya bisa mencintai tanpa merasa dicintai, karena bagiku tentu rasa cinta dan kasih sayang terutama kasih sayang hanya dapat di rasakan, terkecuali cinta itu tentu di buktikan.

"Bisa jangan buat aku bingung, tolong hiduplah dengan kebahagiaan, Ra." Jawab Ivan kembali.

Jawaban itu begitu menyinggung ku, tak bisakah dia berpikir bahwa aku akan merasa bahagia dengannya. Aku ingin berdamai dengannya, tetapi apa yang harus aku lakukan, dari mana aku harus berjalan, aku benar-benar merasa kehilangan arah saat ini. Aku harus segera mengambil tindakan secepatnya.

***

Malam hari tiba, Nura bersiap.
Ia sudah mengenakan pakaian rapi, ia akan mendatangi rumah Umar, ia sudah menghubungi Nesha sebelumnya bahwa ia akan datang, Nesha begitu senang, ia berharap Nura memberi kabar baik. Nura mengenakan pakaian yang rapi, tidak seperti biasanya. Ia sudah menyiapkan dirinya sepenuh hati.

Di ketiklah pintu rumah Umar oleh Nura. Umar membukanya, ia terpana dengan apa yang ia lihat kini, Nura memang cantik, serunya dalam hati.

"Assalamualaikum, Aku-," belum sempat Nura berkata, Umar memotong dan mempersilahkannya masuk.

"Waalaikumsalam, Silahkan masuk" ucapnya dengan senyuman. Nura menarik napasnya, dan ia pun memasuki rumah Umar. Nesha menyambut baik seperti biasa, Nura pun tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Memang tidak ada yang terjadi selain ke ikut campuran Nesha dengan hubungan yang di jalin Nura.

Nesha dan Umar memberikan beberapa suguhan makanan, namun Nura mempercepat dirinya untuk menyampaikan sesuatu yang ingin ia ledakan saat ini. Dengan menarik napas, Nura pun mengutarakan niatnya kemari untuk membahas mengenai pilihannya.

"Aku akan memulai, sebagaimana seharusnya aku mulai sejak lama. Memang ini adalah jalur urusan hubungan pribadiku, namun aku harus membawa Mbak, karena Mbak pula yang turut ikut mencampuri urusan hubungan pribadiku, jadi begini mbak..."

Nesha dan Umar tahu jelas kemana arah pembicaraan Nura, mereka hanya diam mendengarkan apa yang di utarakan oleh perasaan Nura saat ini.

MASIH ADA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang