6. Tuduhan buruk

43 10 0
                                    



Satu bulan telah berlalu, pekerjaan Nura berjalan baik. Pagi hari yang menganggu bisa teratasi, dimana ia melihat sebuah keluarga yang berbahagia, kecupan di kening yang membuat iri Nura. Melihat hal itu, kadang ia berkhayal, seharusnya aku berada di posisi Mbak Nesha, namun kemudian Nura menepis khayalan tersebut. Ia menggelengkan kepalanya, tidakkah ia harusnya bersyukur dengan kehidupannya sekarang. Mapan dengan usahanya sendiri, mapan dengan kerja kerasnya sendiri, walaupun tak ia pungkiri bahwa ia terkadang kesepian.

Seperti beberapa hari lalu, pria yang sering menemaninya, menghiburnya setiap hari pergi ke Surabaya beberapa hari, Nura merasa kehilangan jika tidak ada Ivan, ia hanya bisa mengurung diri saja di rumah. Sebenarnya Nura tidak ingin bergantung, hanya saja.. Ivan memang satu frekuensi dengannya. Tukang nongkrong, tukang jajan, dan tukang rebahan. Sekalipun Ivan di rumah Nura, sekalipun mereka kekenyangan dan mendapatkan rasa kantuk yang luar biasa, mereka tidur di sofa, dan tidak melakukan hal-hal aneh. Ivan, dia benar-benar menjaga Nura dengan baik.

Pagi ini, Nura sudah bersiap untuk bekerja, ia sudah rapi. Sarapan pun sudah ia bawa di dalam mobilnya. Nura membuka gerbang rumahnya, dan ia bertemu dengan Nesha.
"Berangkat, Ra?" Sapa Nesha.

Nura mengangguk.
"Iya Mbak," jawab Nura. Nesha mengangguk. Ia sedang memilih-milih sayuran di tukang sayur langganannya.

Nura pun berjalan menuju mobilnya, ia pun menyalakan mobil namun tak kunjung hidup. Nura berusaha sekeras tenaga, ia mencoba membuka cup mobilnya. Namun ia tak paham urusan mobil, sebisa mungkin ia menghubungin Ivan namun Ivan tak menjawab teleponnya.

Melihat Nura yang terlihat kebingungan, Nesha hanya bisa bertanya-tanya. Dan, beberapa saat kemudian Umar memanggilnya, Nesha pun berjalan masuk menuju ke rumahnya.

"Ya, ayah..? Kenapa...?" Tanya Nesha. Umar terlihat khawatir, kemudian ia mengajak istrinya ke kamar Mahira.

Dilihatnya putrinya yang terbaring dengan wajah yang pucat.
"Sayang, kenapa?" Tanya Nesha yang bergegas menyentuh kening Mahira. Suhu tubuh Mahira panas tinggi, dia demam.

"Hira mandi emang gak enak badan Bu, Hira pusing.." ujar Mahira lemah.

"Istirahat saja ya nak, tidak usah masuk sekolah dulu." Ujar Nesha yang menyelimuti putrinya. Umar menawarkan untuk pergi ke rumah sakit, namun Nesha menolak.

"Kan Ayah tahu, sebelum tiga hari ibu gak akan bawa Anak-anak ke rumah sakit, anak demam itu kan kondisi tubuh sedang melawan virus atau bakteri yang lagi menyerang." Ucap Nesha.

"Yaudah, kalau ada apa-apa hubungi aja ya." Ucap Umar seraya membelai pipi istrinya itu. Nesha tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatirnya.

"Hira sayang, istirahat dulu saja di rumah. Ayah berangkat kerja dulu ya.." pamit Umar. Nesha mengantar Umar kedepan rumah dilihatnya Nura tengah berjalan menutup gerbang rumahnya.

"Nura...?!" Panggil Nesha. Nura menoleh dan mengangguk saja, Umar memperhatikan Nura kemudian membuang pandangannya.

"Mbak," jawab Nura singkat.

"Kok gak pake mobilnya?" Tanya Nesha.

"Mogok mbak, saya jalan dulu ke depan nunggu Taxi." Jawab Nura. Nesha tersenyum, ia sangat bersemangat.

"Barengan suami saya aja, Ra.. searah kan?" Nura dan Umar saling bertatap, kemudian Nura tersenyum tak enak.

"Gak usah Mbak, gak apa-apa. Biar saya jalan saja." Ucap Nura menolak. Nesha berjalan menuju ke arah Nura, ia menuntun Nura, dan mengajaknya agar menumpang di mobil suaminya itu.

"Gak apa, hemat waktu. Iya kan Yah?" Ucap Nesha bersikeras. Nura sekuat tenaga menolak, namun Nesha begitu memaksanya.

"Mbak, saya tidak mau membebani mbak dan suami mbak. Saya bisa sendiri, Mbak.." jelas Nura.

"Aku tahu, suami aku pun tidak merasa terbebani kok. Udah, gak apa-apa. Jangan merasa tidak enak, kita sudah seperti keluarga.." kekeuh Nesha.

Nura masih menolak, sampai Umar pun angkat bicara.
"Kamu bisa ikut dan masuk mobil dulu, setelah itu kamu mau keluar mobil di ujung jalan pun tidak masalah. Istri saya memang begitu baik walau terkesan memaksa" jawab Umar.

Nura hanya diam. Nesha tersenyum.
"Kita memang harus berbuat baik dong.." jawab Nesha. Nura pun masuk ke dalam mobil setelah Nesha membuka pintu depan, Nura duduk di samping Umar yang menyentir mobilnya.

Tanpa babibu, Umar pun pamit dan pergi berlalu. Nesha tersenyum, tidak ada kecemburuan dalam hatinya. Ia sudah ikhlaskan Umar sejak lama. Ia hanya bisa berdoa agar apa yang ia inginkan untuk keduanya bisa berakhir baik.

Dalam mobil hanya berdua.
Nura tak mengatakan apapun, bahkan sepatah katapun ia tak keluarkan. Umar pun tahu, Nura menahan segala ucapannya. Nura memang bukan tipe wanita pendiam dia tipe wanita yang aktif berbicara dan selalu menunjukan keceriaannya.

Hingga, satu ucapan dari Umar yang membuat Nura marah besar.

"Kamu punya rencana apa sampai mengincar keluargaku?" Tanya Umar.

Nura terdiam, ia di tuding memiliki niat buruk pada keluarga Umar. Nura hanya menarik napasnya, sampai kembali ucapan Umar yang menyakitkan.

"Jangan dekati Nesha." Pintanya lagi.

Nura mengepalkan tangannya. Kemudian menjawab ucapan kejam Umar.
"Aku gak ada niatan apapun, mendekati istri kamu aja aku gak ada niatan. Dia yang terlalu ramah, bukan aku yang rajin cari muka." Jawab Nura dengan ganas.

"Aku gak mau dia tahu tentang masalalu kita" jawab Umar.

"Memang ada apa dengan masalalu kamu? Buruk ya, atau memalukan?" Timpal Nura.

Umar hanya terdiam. Nura tersenyum, kemudian ia menggelengkan kepalanya.
"Bisa bisanya menuduh seburuk itu, aku juga punya kehidupan bukan hanya kamu. Kamu berpikir dengan mudahnya tanpa mengerti atau sekedar cari tahu, menilai buruk itu memang mudah ya" ucap Nura.

"Aku hanya tidak ingin ini menjadi rumit" jawab Umar.

"Apa yang akan menjadi rumit? Bahkan aku aja lupa dengan sebuah masalalu" ucap Nura berbohong.

Umar terdiam lagi. Ia tahu Nura tersinggung, namun ia hanya ingin menyampaikan dengan kata lain, Umar menginginkan Nura tidak mendekat, Umar khawatir jika Nesha tahu masalalu antara Nura dan Umar, ia akan sakit hati, bagaimanapun ia harus menjaga perasaan istrinya.

"Maaf, saya terlalu mengkhawatirkan perasaan Nesha." Jawab Umar dengan lembut.

Nura hanya meluruskan pandangannya. Ponselnya pun berdering. Ivan menghubunginya.. Nura segera mengangkat telepon.

"Ra, udah berangkat? Sorry tadi lagi sarapan. Gimana mobilnya? Aku kirim montir ke rumah ya, pulang kamu kerja aja." Ucap Ivan.

"Mobilnya mogok, iya nanti aku kabarin kamu kalau pulang." Jawab Nura.

"Kamu pergi naik Taxi?" Tanya Ivan.

"Iya, aku naik Taxi. Yaudah ya, ini udah mau sampe.." jawab Nura yang tidak mengakui kepergiannya bersama Umar. Umar hanya menarik napasnya, Nura memang memiliki sisi tega yang luar biasa.

"Hati-hati ya, satu lagi Ra.. jaga hati kamu ya, selama seminggu ini hehehe..." goda Ivan. Nura hanya tersenyum tipis.

"Bye, cepet pulang.." jawab Nura seraya mematikan sambungan teleponnya.

Mobil pun berhenti, tepat di depan kantor Nura. Nura hendak membuka pintu namun masih di kunci oleh Umar. Sadar dengan mobilnya yang masih terkunci, Umar pun membukanya. Nura pun keluar, tanpa pamit atau berterima kasih. Ia bergegas masuk ke dalam kantornya tanpa menghiraukan Umar.

"Dia sangat-sangat berbeda" ucap Umar yang tiba-tiba teringat bagaimana marahnya Nura yang tetap manis di waktu dulu. Ia masih sempat mengecup punggung tangannya sekalipun ia tengah ngambek. Umar tersenyum sendiri, namun kemudian ia menepis semua itu.

Nura bukan wanita yang gampang untuk di lupakan bagi Umar, ada beberapa kenangan masih teringat di pikiran Umar, semuanya nyata sangat berkesan bersama Nura, ia merasakan kebahagiaan yang unik dan menyenangkan.

***

Bukankah sulit melupakan sekalipun sudah ditinggalkan, atau meninggalkan. Kenangan itu menyerang pikiran, dan kenangan indah terpahat di hati.

MASIH ADA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang