Menangis, adalah hal yang dapat melegakan kesedihan, itulah yang di lakukan Nura setelah ia mengungkapkan kekesalannya pada Umar, tuduhan Umar itu tanpa dasar. Ia sudah menutup lukanya, namun tanpa Umar sadari siapa yang membuka luka tersebut? Tentu istrinya lah yang membuka luka itu.Bagi Nura, kebahagiaan Umar memang hal yang paling utama, bahkan tidak ada niatan sedikitpun dari Nura untuk menghancurkan kebahagiaan yang sudah Umar bangun bersama keluarganya. Namun tolong jangan ungkit masalalu dengan Umar, jangan berpikiran yang tidak-tidak, Nura memang kesulitan melupakan masalalunya, bahkan sampai detik ini.
Kenangan bersama Umar sangatlah berarti baginya. Kepergian Umar yang tanpa sebab memutuskan hubungan pun masih terasa sakit di dada Nura, dan kini melihat Umar bersama keluarganya bukankah itu hal yang cukup menyulitkan untuk diterima Nura? Nura disini memang sangat terluka namun ia sembunyikan itu semua.
Ia berpikir keras untuk selama beberapa hari pergi dari lingkungannya. Ia sudah sewa apartement untuk satu bulan lamanya, dan akan tinggal disana sementara. Ia akan kembali ke rumah setelah Ivan kembali juga. Ivan, apakah tahu Nura dimana? Ivan tentu tahu. Nura beralasan, ia tidak betah jika tidak ada Ivan. Sekalipun di apartemen pun tak ada Ivan.
"Aku harap, kepergian aku ini bikin kamu rindu gitu, Ra.." ucap Ivan dalam sambungan telepon. Terlihat oleh Ivan, wajah Nura yang tidak biasa. Ia tidak se ceria dulu. Nura hanya diam.
"Kangen kok, bohong kalau enggak" jawab Nura.
Ivan terlihat senang, walaupun sedikit ada yang menganjal di hati Ivan. Nura memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu.
"Kamu mau serius?" Tanya Nura.
Ivan sedikit terkejut dengan ucapan Nura, ia pun menganggukan kepala.
"Kalau enggak, kenapa aku masih di sisi kamu, nunggu kamu sampai bertahun-tahun?" Tanya Ivan lagi.Nura menundukan kepalanya.
"Aku percaya, makasih ya.." jawab Nura. Kali ini Ivan sudah berharap lebih, namun hasil masih tetap sama."Aku kira akan ada perubahan di tahun ini" jawab Ivan. Nura tersenyum.
Dengan tarikan napas, dengan hati yang yakin Nura pun menjawab.
"Kalau proses tunangan dulu gimana?" Tanya Nura.Ivan benar-benar terkejut.
"Ra, Nuraisyah...! Serius...?! Jangan kamu main-main lho, Ra. Aku beneran berharap." Jawab Ivan dengan nada serius. Nura tersenyum, ia menganggukan kepalanya."Pernah aku yang ngomong atau minta duluan, Enggak kan? Ivan.. aku siap kamu ikat" ucap Nura dengan keyakinan yang masih dalam keraguan.
Nura yakin dengan Ivan, hanya saja ia ragu apakah dia bisa melupakan semua itu? Semua yang sudah berlalu lama namun masih dalam ingatan.
Alangkah senangnya sampai Ivan berteriak.
"Ya Allah....! Alhamdulillah... Allahuakbar!!" Teriak Ivan bahagia.Nura tersenyum. Ia melihat betapa bahagianya Ivan.
"Sebahagia itu kamu?" Tanya Nura sambil tersenyum."Sangat bahagia, Ra. Sangat-sangat bahagia" jawab Ivan.
Nura hanya tersenyum lagi, ia pun berkata akan memberitahu kedua orangtua Nura. Ivan pun demikian, orangtua Ivan pun turut andil dalam kesabaran, dimana memang orangtua Ivan sangat mengharapkan Nura menjadi bagian dari keluarga mereka.
"Besok, aku mau ijin. Besok aku dari Surabaya langsung pulang dulu ke apartement kamu, besoknya lagi aku balik. Boleh?" Tanya Ivan. Nura mengangguk.
"Mau aku bawain apa?" Tanya Ivan lagi."Makanan yang enak, buat stock." Jawab Nura.
"Siap sayang, nanti aku bawain ya.." Nura tersenyum lagi. Mendengar Ivan memanggilnya dengan sayang, sedikit membuat Nura bahagia.
"Iya say-, yang" jawab Nura kaku.
Ivan terkekeh.
"Gemes banget deh!! Pengen meluk..." Nura menjulurkan lidahnya. Ivan semakin gemas saja."Makasih ya Ra, udah mau terima aku" Nura mengangguk.
"Selain kamu siapa yang akan aku terima? Tidak ada yang lain, karena ya cuma kamu" jawab Nura.
"Ih Ra... jangan gombal gitu deh!" Goda Ivan. Nura terkekeh lagi. Mereka memancarkan kebahagiaan.
Berbincang melepas kerinduan dengan canda dan tawa.Berbeda dengan Nura dan Ivan, Nesha dan Umar tengah berbincang. Umar sengaja mengambil cuti kerja untuk menyelesaikan masalahnya. Nesha yang terus menghindar akhirnya ia harus mengatakan bahwa ia sudah tahu semuanya.
"Aku tahu bagaimana abang begitu tega tinggalkan Nura, kenapa abang seperti itu? Apakah abang memang tidak pernah serius dengan Nura?" Tanya Nesha. Umar menatap istrinya itu.
"Sebenarnya abang tidak ingin membahas hal itu, itu sudah dalam masalalu abang. Jika memang keberadaan Nura di sekitar kamu membuat kamu tidak nyaman, katakan saja. Kita bisa pindah rumah atau-," ucapan Umar dihentikan oleh Nesha.
"Abang, abang tidak tahu betapa senangnya aku ketika bisa bertemu dengan Nura. Wanita sabar itu begitu menjaga dirinya, dia menjaga perasaannya. Sekalipun datang ke rumah ini dia akan merasa kesakitan, namun dia rela menahan hal itu untuk menjaga perasaan aku" Umar terdiam.
"Abang, aku mencari Nura selama ini. Berharap dia bisa menerima abang lagi setelah kepergianku, itu tujuanku. Nura wanita yang baik, aku percaya itu. Aku berencana merepotkannya dengan menjadi ibu sambung dari anak-anak kita. Namun mengapa abang bersikap kasar padanya? Dia tidak bersalah, bahkan sampai detik ini pun ia tak pernah tahu salahnya apa sampai abang tega meninggalkannya." Nesha merajuk. Umar pun menarik napasnya.
"Sayang, itu sudah masalalu. Biarkan saja, seharusnya Nura tidak menjaga perasaannya, itu hanya hal yang sia-sia baginya. Seharusnya dia bisa bahagia, namun itu pilihannya. Abang tidak ada urusan dengan pilihan hidup Nura, dia bukan siapa-siapa abang lagi." Jawab Umar dengan nada yang selalu rendah. Ia sangat menahan diri, sekalipun istrinya itu bersikeras. Bahkan ia ingin sekali marah saat Nesha memilih Nura untuk menggantikannya.
"Satu hal lagi, abang percaya kamu akan sehat. Kamu akan temani abang sampai tua nanti. Abang tidak butuh wanita lain, cukup kamu sayang." Jawab Umar.
Nesha mendekati Umar.
"Abang, kita sudah menikah lama. Aku tahu bagaimana tatapan cinta abang padaku. Lalu, saat abang menatap Nura, aku pun tahu tatapan itu sama pancarannya seperti yang abang lakukan padaku. Abang, aku tahu abang menjaga perasaanku. Tapi ini keputusanku bang, ketika aku tiada nanti, Nura yang harus menggantikan posisiku." Pinta Nesha.Nesha menjadi keras kepala. Umar pun memberikan ucapan yang tegas.
"Sayang, kamu tidak bisa memaksakan kehidupan seseorang, Nura sudah seharusnya bisa bahagia dengan oranglain bukan dengan abang. Nura butuh kebahagiaan yang luar biasa, terlalu berat untuknya jika dia bersama abang. Pikirkanlah, jangan hanya memikirkan keinginan kamu saja" jawab Umar seraya berlalu. Namun langkahnya terhenti ketika Nesha berkata kembali."Kebahagiaan Nura adalah bersama Umarnya. Abang tahu mengapa Nura tidak menikah bahkan tidak pernah memiliki kekasih? Karena Nura masih mengharap cinta abang. Kejam yang abang lakukan itu kejam pada Nura!! dia menunggu Abang. Namun, kini yang aku rasakan adalah kehancuran ketika Nura tahu, harapannya bahkan sudah berbahagia. Apakah gara-gara aku, abang meninggalkan Nura?" Tanya Nesha dengan tangisnya.
Ia tak ingin mengatakan alasan terakhir itu, namun setelah ia pikir mungkin saja Nesha lah alasan hubungan itu berakhir.
"Cukup sayang, cukup..."
"Alasan itu hanya aku yang tahu." Jawab Umar kemudian berlalu pergi.Nesha menangis.
Betapa suaminya itu menutup rapat alasan ia pergi meninggalkan Nura. Selain itu, Nesha memang turut merasa bersalah jika memang dirinya adalah alasan keputusan yang Umar ambil.
KAMU SEDANG MEMBACA
MASIH ADA CINTA
Ficción GeneralNama itu masih terukir di hatinya masing-masing, hanya saja jalan mereka berbeda.. namun, sepasang tangan menarik seorang wanita dimasalalu untuk meneruskan cintanya yang akan berhenti karena waktu yang sudah di tentukan oleh sang pemilik sebenarnya.