4. Menghentikan harap

65 8 2
                                    


Seminggu telah berlalu. Nesha menunggu hal yang sudah ia tunggu lama. Setelah sarapan selesai, ia mengantarkan suaminya ke depan. Mahira putrinya sudah masuk dan menunggu di dalam mobil.

"Aku pergi dulu ya sayang.." ucap Umar pada istrinya. Seperti biasa, Umar mengecup kening istrinya. Umar pun bergegas menuju mobilnya, ketika mobilnya hendak keluar. Ada mobil datang, sedikit menghalangi. Umar menekan klakson dan mobil itupun perlahan mundur.

Pertemuan itu sangatlah di harapkan oleh Nesha, ia berharap Nura keluar dari mobilnya dan bertemu dengan Umar, namun harapannya pupus ketika Mobil Nura lebih memilih mundur mengalah dan memberi jalan pada mobil Umar. Umar pun berlalu tanpa tahu bahwa mobil itu berisikan masalalunya.

Kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Nesha. Sambil menutup pagar rumahnya, Nesha menyapa Nura yang baru keluar dari mobil.

"Pagi, tetangga baru.." ujar Nesha. Nura mengangguk, membalas senyuman ramah dari Nesha.

"Mari," ucap Nura sambil mengangguk. Nesha mengangguk lagi. Ia berpikir, bisa-bisanya Umar menjadikan seorang wanita ramah itu menjadi dingin pada oranglain. Nesha menggelengkan kepalanya.

Ia memutar otaknya lagi.
"Apa ya, apa coba kasih makanan? Siapa tahu butuh untuk makan Nura?" Pikir Nesha. Nesha mengangguk dengan ide itu, namun sesaat kemudian ia merasa bahwa itu terlalu berlebihan.
"Aduhh, Nura kenapa sih? Gak bisa membuka diri untuk sosialisasi?!" Ucap Nesha yang tiba-tiba kehilangan kepercayaan diri.

Namun tiba-tiba, ada suara yang mengejutkannya.
"Permisi.....?!" Teriak seseorang. Nesha berbalik, ia datang ke arah suara. Pucuk di cinta ulam pun tiba, Nesha melihat Nura berada di depan pagar rumahnya.

"Ya, hai.. masuk-masuk.." ajak Nesha. Nura tersenyum canggung, Nesha membuka pintu gerbang kemudian menyentuh tangan Nura.
"Gimana, ada apa?" Tanya Nesha ramah.

"Emmh, saya mau pinjam palu.. soalnya saya gak punya perkakas kak." Ujar Nura yang terlihat canggung. Nesha mengusap bahu Nura.

"Panggil mbak Nesha aja. Kamu seusia adik saya kok" ucap Nesha.

"Oh, iya.. mbak maaf menganggu" ucap Nura. Nesha tersenyum.

"Tidak menganggu kok, tunggu sebentar ya. Saya ambilkan dulu" ucap Nesha kemudian berjalan perlahan menuju tempat dimana perkakas di simpan. Nesha bahagia, ini akan menjadi sarana dekat dengan Nura.

Nura menunggu, sesekali ia menengok kedalam, namun ia kembali pada posisinya. Jika tidak di persilahkan masuk kedalam rumah, ia akan diam saja.
"Maaf ya, lama.. suami saya terlalu rapat menyimpan perkakasnya" ucap Nesha. Nura tersenyum, mengangguk.

"Gak apa-apa mbak, maaf sudah di repotkan." Jawab Nura dengan santun.

"Gak kok. Santai aja, mau masuk dulu?" Tawar Nesha. Nura menggelengkan kepalanya.

"Tidak usah mbak, ini lagi di tunggu teman saya.. katanya mau pajang apalah foto gitu" jawab Nura. Nesha pun mengangguk.

"Kalau butuh apa-apa kesini saja ya, jangan sungkan." Jawab Nesha dengan ramah, tatapan Nesha di lirik oleh Nura. Ia merasa aneh dengan sikap Nesha, namun mungkin Nesha memang orang yang ramah, jadi Nura tidak berpikiran aneh-aneh.

"Saya pinjam dulu ya mbak.." ucap Nura kemudian pamit. Nesha mengangguk dan tersenyum, ia begitu senang, setidaknya Ia tahu bagaimana Nura.

Nura berjalan menghampiri Ivan yang hendak menyusulnya.
"Dapet?" Tanya Ivan.

"Dapet, gak sabaran banget sih!" Ivan datang dan menangkup pundak Nura mendorongnya masuk menuju rumahnya lagi.

"Yuk cepetan, foto kita harus banget ada yah!" Pinta Ivan. Nura hanya tersenyum dengan tingkah Ivan. Melihat kedekatan itu, Nesha merasa sakit hati.

"Ya Allah, aku tahu pria yang menemani Nura adalah orang baik, ia bisa menyayangi Nura dengan tulus. Namun, bisakah jika kebahagiaan Nura tertuju pada suamiku? Aku ikhlas jika harus berbagi cinta suamiku, aku ingin saat aku tak ada di sampingnya lagi, dia bisa tetap bahagia walau tidak bersamaku." Nesha mengusap dadanya. Ia pun masuk lagi kedalam rumahnya.

Nesha menitihkan air matanya di kamar. Melihat Medina yang terlelap, ia tak kuasa meminta maaf pada anak bungsunya itu.
"Ibu akan memberikan kebaikan untuk kalian, anak-anak Ayah dan Ibu. Sekalipun ibu tidak bisa dilihat oleh kalian, kalian akan melihat sosok Ibu dalam diri Nura, kekasih lama Ayah yang masih Ayah cintai selama ini." Ucap Nesha.

Vonis dokter yang menyatakan bahwa Nesha mengidap Kanker ganas membuatnya bersiap dengan segala hal. Ia harus ikhlas dengan apa yang sudah ketentuannya. Umar tahu apa yang di idap oleh istrinya, sebisa mungkin ia menjaga agar istrinya tidak bersedih, bahkan selalu menguatkannya setiap hari, berkata bahwa ia tidak akan menikah lagi jika istrinya tiada. Namun Nesha selalu menjawab.

"Aku tidak akan tenang, Yah. Jika Ayah tidak mendapatkan pendamping yang bisa mengurusi Ayah dan anak-anak." Ucap Nesha.

"Jika tidak akan tenang, jangan tinggalkan Ayah.. itu saja yang Ayah minta" ujar Umar kepada istrinya.

Nesha hanya bisa diam saja. Genggaman tangan Umar memang menenangkan, ia sangat mencintai suaminya hingga ia rela jika suaminya itu menikah lagi, tentu dengan wanita yang Nesha pilihkan.

"Jika aku yang mencari wanita untuk Ayah, apa Ayah akan menerimanya?" Tanya Nesha. Umar melirik tajam, ia menarik napasnya.

"Kamu bicara apa? Kamu satu-satunya, Nesha. Setelah aku memutuskan untuk menikahi kamu, maka kamu yang akan menjadi akhir." Jawab Umar.

Nesha hanya diam. Umar selalu menolak, namun Nesha tahu di hatinya masih terpahat satu nama.
"Apa harus wanita di masalalu yang menggantikan aku?" Tanya Nesha.

Umar terdiam.
Mengingat wanita dimasalalu, sempat Umar bertanya-tanya, apa kabarnya? Bagaimana caranya hidup? Umar hanya bisa bertanya-tanya selama ini, tanpa pernah berusaha menemuinya, walau sempat suatu ketika saat Umar dinas ke kota kelahirannya, ia sempatkan diri untuk melihat bagaimana kondisi rumah seseorang dimasalalunya, namun betapa kagetnya Umar saat ia mengamati rumahnya, orang tersebut keluar.

Beruntung saat itu Umar memakai masker, dan topi. Nura datang dan melihat seorang Pria di depan rumahnya.
"Mau ke siapa mas?"
"Kalau lurus terus itu jalan buntu, putar balik aja belok kiri dari sini. Itu ke jalan utama. Mari mas, permisi" ujar Nura ramah. Nura berjalan tanpa curiga sama sekali. Itu kejadian satu tahun setelah mereka putus.

Umar ingat hal itu, Nura memakai pakaian casualnya, dan membawa buku-buku. Umar tahu kemana Nura pergi, karena beberapa saat kemudian ada pesan di ponselnya.

"Hari ini, setelah pulang sekolah.. setelah beristirahat sebentar, aku lanjut les."

Sebuah pesan dari Nura. Sekalipun mereka putus, Nura suka mengirim pesan pada Umar, pesan laporan kegiatannya. Saat Umar memutuskan menikah dengan Nesha, nomor ponsel Umar di ganti, dan Disitulah semua berakhir.

Bagi Nura, berkabar itu penting sekalipun tidak mendapatkan jawaban. Nura saat itu hanya bisa berharap, tidak lebih dari itu. Ia berharap bahwa pesannya akan di balas, namun setelah tahu nomornya sudah tidak aktif, Nura menghentikan harapannya.

MASIH ADA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang