21. Mengejar Cinta

63 9 3
                                    



Mendengar apa yang di sampaikan Nura dengan sangat hati-hati agar tidak menyakiti perasaannya dan begitu dewasanya, Nesha yang memang mencintai Nura dari segalanya. Nura mengatur emosi, mengatur setiap penyampaiannya tanpa menyakiti hati Nesha ataupun Umar.

"Jadi begini Mbak, maaf aku menolak lamaran yang Mbak tawarkan. Dahulu memang aku sangat mengharapkan suami mbak, jauh sebelum aku tahu bahwa dia telah menikah. Jika harapanku mbak masukan kedalam hati, mohon maaf sekali Mbak, itu karena keterbatasan ku akan kabar berita tentang Umar. Setelah apa yang aku lihat, tanpa aku sadari.. aku bukan bersedih dengan kenyataan Umar sudah menikah bukan, aku menyadari betapa sia-sianya aku mengharapkan seseorang untuk kembali, hingga aku menyiksa diriku sendiri. Mungkin, jika aku percaya diri bahwa memang hubungan itu adalah akhir, bahwa memang aku dan Umar tidak untuk di satukan lagi, aku mungkin sudah berbahagia seperti yang Umar jalani."

Dengan hati yang tabah, ikhlas, serta berserah diri, Nura mengutarakan semua yang ia rasakan.

"Lalu, aku menyadari.. selama ini saat aku kesepian, Ivan lah yang menemani. Kapanpun, dimanapun, dia ada di sampingku. Dan, hal yang kini sangat menyiksa batinku adalah ketika ia memilih mundur untuk tidak melanjutkan apa yang aku inginkan Mbak, dia sama seperti mbak yang menginginkan kebahagiaanku dengan Umar, mbak.. sekalipun di depan nanti aku berbahagia dengan Umar, Umar tidak akan merasakan betapa bahagianya melalui hari-hari yang sudah di lewati bersama mbak. Pahami hal itu mbak, jika semua penolakan aku mbak masih tetap dengan pendirian Mbak. Maaf sekali, sekalipun aku tidak menikah dengan Ivan, aku pun tidak akan menikah dengan Umar pula."

Umar hanya terdiam, Nesha mengusap air matanya yang jatuh. Tangan Umar mengusap lembut punggung tangan istrinya itu.

"Maaf, sudah menolak permintaan istrimu yang memintaku kembali padamu." Ucap Nura sambil menatap dan tersenyum pada Umar. Umar menganggukan kepala dan membalas senyuman Nura.
"Mbak kita bisa menjadi keluarga aku bisa menjadi ibu dari anak-anak mbak, sekalipun aku tidak menempati posisi mbak menjadi istri Umar. Aku bisa menyayangi anak-anak.. jangan mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Umar memilih Mbak, karena memang mbak adalah wanita terbaik dimatanya.. aku percaya itu." Ucap Nura.

Nura menggenggam tangan Nesha. Sampai pada akhirnya Nura mendekat dan memeluk Nesha. Tangis keduanya pecah, entah mengapa namun Nura merasa lega.

"Maaf tidak memahami perasaan kamu, Ra.." ucap Nesha. Nura melepas pelukannya ia menatap Nesha dan menghapus air mata Nesha.

"Mbak dalam posisi yang sangat-sangat sensitif. Jadi aku paham betapa keinginan mbak itu membebani hati Mbak. Aku paham, apa yang mbak lakukan tentu bukan untuk diri mbak sendiri."

Nesha kembali memeluk Nura.
"Maafkan aku, sudah mempersulit kebahagiaanmu." Ujar Nesha lagi. Nura memeluk erat Nesha. Perasaannya kini sangatlah lega, setidaknya Nura sudah menjelaskan secara mendetail, dan menolak secara resmi dan halus.

Selesai sudah perbincangan serius itu, di tutup dengan sebuah pertanyaan dimana Nesha bertanya.
"Bagaimana dengan Ivan saat ini?" Tanya Nesha.

Nura hanya tersenyum.
"Biar aku yang urus Mbak," Nesha pun mengangguk. Melihat Nesha dan Nura yang semakin dekat ibu mertua Nesha, yang tak lain adalah Ibu Umar merasa senang.

"Dari dulu pun, Ibu tidak pernah menganggap Nura siapa-siapa, bagi ibu Nura adalah anak bungsu! Ibu senang semua masalah selesai antara keluarga ini dengan masalalunya Umar. Maaf Nesha, bukan ibu tidak mau menceritakan bagaimana Nura, tetapi ibu sangat-sangat menghargai Rumah tangga Umar." Ucap Ibu Umar. Nura tersenyum begitu pun dengan Nesha.

"Terima kasih Bu," peluk lembut dari sang menantu.

Hari sudah malam, sudah waktunya Nura pulang. Nesha sudah di antar ke kamar oleh Umar untuk beristirahat.
Umar mendatangi ruang tengah rumahnya, dimana Nura dan Ibu Umar masih berbincang. Setelah Umar duduk Nura pamit untuk pulang, karena sudah malam.

"Ibu antar sampai depan ya.." tawar ibu. Nura mengangguk dan tersenyum namun, kemudian Umar bangkit mengatakan.

"Biar Umar yang antar, Bu." Ucapnya sambil menatap Nura dengan tenang. Nura melihat ke arah ibu Umar dan menganggukan kepala, seolah mengatakan bahwa "its ok, Nura tak apa-apa"

Umar pun mengantar Nura, Nura  mengekor di belakang Umar. Sesampainya di gerbang rumah Umar, Nura hendak menyampaikan sesuatu, namun tidak ia sampaikan. Keduanya begitu canggung, Nura pun menganggukan kepala dan hendak menyebrang, namun Umar menahannya. Nura pun berbalik, dan melihat Umar.

"Hah, Apa...?" Tanya Nura. Umar menatap Nura dan mendekat.

"Makasih sudah memberikan Nesha jawaban. Dan, doa terbaik untuk kamu" Nura tersenyum.

"Doanya ikhlaskan?" Canda Nura. Umar pun tersenyum. Keduanya melempar senyuman sampai mereka bertatapan di gerbang rumah masing-masing. Umar memperhatikan Nura, untuknya mungkin ini terakhir kalinya melihat Nura yang tersenyum ramah padanya, senyuman itu begitu terasa di hati Umar. Ada kalanya ia ingat serpihan masalalu yang indah dengan Nura. Kini, ia kembali melepaskan Nura untuk kebahagiaannya. Nura sudah menghilang masuk kedalam rumahnya, namun Umar masih tenggelam dengan memori masalalunya.

"Jika harusnya seperti ini kisah aku dan Nura, mungkin di semesta lain kita bersama, maaf sudah meninggalkan kamu" batin Umar yang kemudian memutus memori indah bersama Nura di masalalu, dan masuk kedalam rumahnya.

Nura berada di kamarnya, tinggal satu minggu lagi pernikahannya berlangsung. Beberapa orang sudah menghubungi dan memberi kabar seperti gaun pernikahan yang memang sudah siap, dan lain sebagainya. Nura hanya bisa memandangi gaun tersebut dalam layar ponselnya. Sampai pada akhirnya pesan masuk.

"Bisa bertemu?" Tanya Ivan.

Nura pun segera membalasnya.
"Aku yang akan datang" jawab Nura.

"Aku di rumah" jawaban Ivan kemudian.

Nura kemudian bergegas, ia keluar rumahnya tanpa menggunakan kendaraan, ia berjalan kaki menuju rumah Ivan yang hanya berbeda beberapa blok saja. Sudah beberapa hari ini Ivan tidak menghubungi, rindunya menjalar di hati Nura.

Sesampainya di pintu rumah Ivan, ia menekan bel rumah. Ivan tahu Nura datang, ia menarik napasnya dan berjalan menuju pintu rumahnya. Ia pun membuka pintu, dan Nura tepat di depannya.

Keduanya berpandangan dan Ivan tersenyum.
"Lama gak ketemu" ucap Ivan. Nura mengangguk.

"Kamu yang tidak mau bertemu.." Ivan menunduk dan tersenyum. Rasanya melihat Nura saat ini hatinya campur aduk, senang dan juga sedih. Akankah ia memberitahu bahwasanya ia akan menerima lamaran Mbak Nesha, atau ia memilih untuk mundur tidak dengan Ivan ataupun dengan Umar.

"Masuk" ajak Ivan.

Nura menahan tangan Ivan yang hendak masuk ke dalam. Ivan pun berbalik.
"Aku gak lama.." ucap Nura dengan raut wajah seriusnya. Ivan pun siap dengan ucapan Nura selanjutnya.
"Aku mau ke bandung, dan Ivan.. jika pun kamu tidak akan menikahiku. Aku akan menikahi diriku sendiri, jika kamu tidak datang itu pilihanmu, tapi tetap aku akan jalankan pernikahan yang sudah di sepakati."

Ivan tercengang, ia mencerna setiap kata yang Nura ucapkan.
"Jika kamu tidak datang, dan Umar berserta istrinya datang ke pesta pernikahanku. Lalu, mereka kembali melamarku, mengganti nama kamu di berkas yang sudah kita urus sebelumnya, dalam posisi itu aku tidak akan menolak Umar, tapi..." mendengar ucapan yang barusan Nura katakan saja membuat Ivan merinding, Nura tidak sedang bercanda saat ini, Nura saat ini dalam posisi yang paling serius.

"Tapi?" Tanya Ivan mengantung.

"Tapi ingat satu hal, kamu sudah menghancurkan harapan yang sudah aku rangkai dengan kamu, serta kamu sudah memilih kebahagiaan yang salah untuk aku, dan satu lagi... perjuangan kamu itu hal yang paling sia-sia selama ini, jika aku menikahi orang lain."

Ivan semakin kalut, ia hendak berkata namun baru saja satu kata ia keluarkan, Nura menatapnya dengan tajam dan pergi berlalu tanpa pamit padanya. Dilema yang di rasakan Ivan semakin menjalar. Khawatir, dan juga gusar merasuki dirinya. Nura tidak pernah main-main dengan keputusannya. Lalu, apakah Nura meminta syarat itu pada Umar dan mbak Nesha? Pikir Ivan.

"Nura, apa yang sedang kamu mainkan?!!" Ucap Ivan yang kalut.

MASIH ADA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang