Dua Belas

1.1K 62 20
                                    

Wounds In Marriage
Bab Dua belas
***

Anggya POV

Aku mengantarkan Latya ke sekolah. Gadis itu terlihat senang sekali karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan teman-teman di sekolahnya. Aku kembali masuk ke dalam mobil ketika Latya sudah berada di kelas. Dia tadi sempat mencium pipiku dengan lembut. Sekarang aku sudah duduk di mobil, bersama dengan Pak Supir yang memang selalu sedia mengantarkan diriku. Saat itu ponselku berdering, ada telepon masuk dari Ibu. Aku segera mengangkatnya.

"Ada apa, Bu?"

Di sebelah sana, terdengar Ibu agak sungkan untuk berbicara. "Nak  ... Dian mau tes masuk Universitas awal bulan ini. Ibu butuh uang 2 juta. Kira-kira kamu ada?" tanya beliau kemudian.

Aku menghela napas pelan. "Baik, Bu. Nanti aku transfer seperti biasa ya ke rekening."

"Jangan bilang-bilang Bapak, ya. Nanti Ibu kena marah!" kata beliau lagi dengan nada penuh penekanan. Memang Bapak tidak pernah setuju jika Ibu selalu meminta uang kepadaku.

Meskipun aku masih agak sakit hati dengan perkataan Dian maupun Ibu, tetap saja mereka adalah keluargaku. Dian adikku satu-satunya dan aku tentu tidak akan tega membiarkan mereka kesusahan. Apalagi mengingat kondisi Bapak yang sudah tua dan tidak bisa lagi bekerja berat. Aku tahu Dian memang tengah merajuk ingin kuliah meskipun kondisi ekonomi tidak memungkinkan. Bapak memintanya untuk bekerja lebih dahulu, baru kuliah. Tetapi, Dian menolak hal itu dengan alasan malu. Dia memang agak berbeda dengan diriku yang bahkan masih SMA sudah berjualan di kantin. Mungkin terbawa pergaulan.

"Baik, Bu," jawabku. "Bagaimana kabar, Ibu?" Aku belum sempat main lagi ke rumah Ibu dan Bapak. Mengurus Latya sakit sudah cukup menyita waktu. Belum lagi aku sedang hamil dan tidak boleh terlalu capek.

"Ibu baik. Latya sudah pulang, kan?"

"Sudah, Bu."

"Jangan berpikir buruk tentang suamimu, Nggi. Kita harusnya banyak-banyak terima kasih kepada Naufal karena sudah banyak membantu keluarga kita." Rupanya Ibu masih ingat dengan curhatan diriku waktu main ke rumahnya hari itu. "Jangan terlalu pikirkan laki-laki. Mereka wajar jika main perempuan, yang penting kebutuhanmu terpenuhi. Ingat pesan, Ibu, Nggi."

Yang benar saja, Bu? Apakah Ibu rela jika kembali muda dan Bapak menikah lagi? Namun, karena tidak ingin berdebat aku memutuskan untuk meng-iya-kan saja. Hanya Bapak yang bisa mengerti perasaan yang aku rasakan. Ibu sudah seperti orang asing sejak hidup berkecukupan karena beliau juga dapat jatah uang bulanan dari Mas Naufal. Beliau terlalu bangga dengan menantunya itu.

"Yasudah Ibu mau pergi ke pasar dulu. Bapak kamu sebentar lagi pulang. Kalau Ibu belum masak nanti kena marah."

"Iya, Bu."

Setelah panggilan terputus aku hanya bisa menghela napas. Untungnya hanya Ibu yang berubah. Mama, ibunya Mas Naufal justru sangat menyayangi diriku dan beliau berkali-kali berkata kepada anaknya agar jangan pernah mengecewakanku. Mama selalu berpesan kepada anaknya untuk tidak melukai hatiku. Aku kadang merasa bingung mana yang sebenarnya ibu kandung sendiri dan mana yang justru mertua. Ketika Ibu membela Mas Naufal, Mama justru malah membela diriku.

"Bapak mau sarapan bubur?" tanyaku kepada pak supir yang sudah sibuk mengemudikan mobil. "Nanti kita berhenti di warung bubur yang biasa, ya. Sekalian beli untuk Bibi di rumah."

"Iya, Non."

"Bapak kalau mau beli makanan yang lain bilang aja, ya. Mumpung kita lagi di luar." Aku sudah menganggap Pak Supir dan Bibi seperti kedua orang tuaku sendiri. "Mungkin Bapak mau beli gorengan atau kue?"

Wounds in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang