Wounds in Marriage
***
Bab Dua***
Anggya FOV
Pukul satu siang, aku dan Mas Naufal sampai di apartemen Tasya. Suamiku meminta aku untuk melangkah lebih dulu, hanya dengan membawa tas selempang. Sementara dirinya menopang pastel buah dan sekantung makanan yang kami beli di supermarket. Bagiku, Tasya sudah seperti saudara sendiri. Dia tidak memiliki kerabat lagi selain aku sekarang. Jika aku tidak peduli kepadanya, maka dia akan berkeluh kesah kepada siapa?
Tasya sudah kelihatan membaik sepertinya. Dia bahkan sudah tidak diinfus. Mas Naufal memilih untuk keluar kamar setelah menaruh pastel buah ke nakas. Meninggalkan aku dan Tasya yang sekarang duduk di kasur. Kuraih telapak tangan Tasya, sangat dingin. Apakah dia menggigil?
"Wajah lo kelihatan pucat, Sya." Aku meneliti wajahnya, melihat bibirnya yang agak membiru. "Sebenarnya lo sakit apa?"
Tasya tersenyum kecil. "Gue nggak apa-apa, Gy." Dia menggeleng pelan.
"Sya, lo nggak bisa bohong sama gue." Aku merasa kesal dengan Tasya. Apakah dia pikir aku tidak khawatir dengannya? "Kita saling kenal sudah dari kecil. Gue tahu lo luar dalam."
Mendadak Tasya terbatuk, sampai aku meraih gelas berisi air dan memberikan kepadanya. Setelah batuknya mereda, Tasya memundurkan tubuh dan bersandar ke dinding. Namun, dia seolah tidak mau menatap ke arahku. Astaga Tasya, aku memang marah sebab kamu tidak mau berkata jujur tentang penyakitmu, tetapi bukan berarti aku akan mengabaikanmu.
Bola mataku menangkap bungkus obat di nakas. "Udah minum obat?" Lalu aku meraih benda itu. "Lo ada hipertensi? Sejak kapan?"
Tasya hanya menggeleng.
Aku meraih telapak tangannya, menggenggam. "Lo harus semangat, Sya. Gue yakin lo bakal sembuh. Percaya, oke?" Aku segera memeluk dirinya dengan erat. "Gue buatin bubur, ya. Lo tunggu di sini."
"Nggak usah, Gy. Gue bisa pesan makanan."
"Lo harus makan makanan sehat." Sekali lagi rasanya ada yang aneh. Tasya biasanya manja kepadaku saat sakit, sekarang sebaliknya. Seolah dia tidak ingin merepotkanku. Padahal kalau hanya sekadar membuatkan bubur saja aku bisa. "Pokoknya lo tunggu di sini. Biar gue panggil Mas Naufal, deh, buat temanin lo."
"Gy!"
Aku tidak peduli dan terus melangkah. Mas Naufal ada di sofa, tengah asyik memainkan ponsel. Aku menghampirinya dan suamiku itu tersenyum. Segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
"Sudah selesai?"
Menggeleng. "Tolong temanin Tasya, ya, Mas."
Ekspresi Mas Naufal berubah, senyumnya hilang. Dia menaikkan alis dengan bingung.
Aku menyentuh bahunya, menenangkan. "Gya mau buatin bubur untuk Tasya. Dia harus minum obat, Mas," kataku seraya tersenyum.
Namun, Mas Naufal menggeleng. "Mas di sini saja, Gy. Kalau memang ada yang aneh dengan Tasya di dalam kamarnya. Mas bisa lari ke sana."
Aku mengerucutkan bibir, cemberut. "Kita kalau mau menolong orang jangan setengah-setengah, Mas. Nggak baik." Dengan kuat aku menarik tangan Mas Naufal, lalu mendorong tubuhnya untuk melangkah ke kamar Tasya.
Dari dalam, Tasya melihat kami. Aku melambaikan telapak tangan dan tersenyum. Lalu berkacak pinggang dan melotot kepada Mas Naufal yang masih enggan untuk masuk ke kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wounds in Marriage
Roman d'amour[18+] Kehancuran rumah tangga adalah salah satu daftar hitam dalam folder otakku. Tidak pernah berpikir bahwa semuanya akan berakhir seperti ini. Perselingkuhan yang dilakukan oleh Mas Naufal benar-benar menarik diriku masuk ke dalam jurang. Ia memp...