Dua Puluh Empat

1.4K 76 10
                                    

Wounds In Marriage

Bab Dua Puluh Empat
***


Anggya POV

Aku menelepon Febby hari itu juga, sebab tidak ingin membuat Devan lelah jika terlalu lama menunggu tanpa ada kepastian. Dan sebenarnya aku pun sudah tidak ingin menunda lagi. Aku ingin segera mengganti semua hutang Ibu kepada Mas Naufal sehingga aku bisa cepat-cepat bercerai dengannya. Selain itu, aku tentu masih harus berusaha mengumpulkan banyak bukti perselingkuhan mereka agar menang di pengadilan nanti. Ayah yang buruk seperti Mas Naufal tidak berhak untuk mendapatkan hak asuh. Aku tidak sudi.

"Kamu bersedia, Feb?" Sebenarnya aku dan Febby dahulu tidak terlalu akrab. Namun, sekarang kami benar-benar seperti teman dekat. "Aku ingin kita mencari kiosnya besok. Kita sewa yang kecil saja dulu ya, Feb." Aku menunggu respon dari Febby dengan cemas. Bukan apa-apa, Febby satu-satunya harapan aku saat ini. Meskipun sebenarnya aku bisa saja mencobanya sendiri.

"Oke, Anggy. Gue mau, kok."

Aku tersenyum dengan begitu bahagia karena mendengar perkataan Febby. Satu langkah menuju kesuksesan. Aku akan berusaha sekuat tenagaku. Febby memutuskan panggilan karena katanya Zayn, suaminya, sudah pulang. Aku juga mendengar suara mobil Mas Naufal yang masuk ke pekarangan rumah. Kami sudah hampir seminggu seperti orang asing yang saling tidak mengenal. Hatiku hancur sekali harus mengalami hal seperti ini. Semuanya persis mimpi buruk.

"Kita perlu bicara," kata Mas Naufal tiba-tiba ketika dia melihat diriku yang kini sibuk mengambil air putih dari dispenser. "Sudah hampir seminggu ini kamu cuekin aku, ya? Kamu pikir kamu bisa lepas dari aku semudah itu?"

Aku berusaha mengabaikan dirinya dengan melangkah begitu saja seraya membawa gelas kaca berisi air dingin. Mas Naufal yang geram melihat sikap diriku lantas meraih lenganku yang bebas. "Anggy, kamu dengar aku nggak?" Dia mencekal pergelangan tanganku dengan kuat. "Jangan pernah berani kamu mengadu soal perselingkuhan aku dengan Tasya atau hidup kamu akan menderita! Paham kamu?" Dia lalu meraih daguku, membuat bola mata kami saling bertemu. Semuanya terasa berbeda. Tatapan itu terlihat asing. "Kamu dengar, Anggy?" Bahkan dia tidak peduli jika telapak tangannya menekan wajahku dengan keras.

"Lepasin aku, Mas!" semburku karena tidak tahan lagi. "Apa sih sebenarnya yang kamu inginkan? Kamu ingin hidup berdua dengan Tasya? Silakan, Mas! Silakan pergi! Aku bahkan nggak peduli lagi! Aku justru senang kalau kamu mau lepasin aku dan anak-anakku?!"

"Kamu pikir keluarga kita tidak akan curiga kalau kita bercerai begitu saja?" Dia memicingkan matanya, menatapku dengan tajam. Sungguh, Mas. Apakah kamu tidak ingat pernah meminta diriku dulu kepada Ayah? Apakah kamu tidak ingat pernah berjanji untuk membuatku bahagia seumur hidup? Apakah kamu tidak ingat, Mas? Aku ingin sekali untuk menangis, tetapi air mataku sudah kering rasanya. "Aku butuh waktu yang tepat untuk melepaskan kamu," katanya dengan begitu santai. Seolah dirinya memang sudah tidak lagi mencintaiku. "Tapi jangan berharap hak asuh anak kita jatuh ke tangan kamu!" Lalu Mas Naufal menyentak pergelangan tanganku begitu saja dan pergi.

Ya Allah, seandainya saja membunuh tidak berdosa. Ingin sekali rasanya aku menghabiskan nyawa mereka berdua.

"Mama?" Latya memanggil diriku, yang tentu membuatku tersentak kaget. Apakah dia melihat perlakuan Mas Naufal kepada diriku tadi? Aku sungguh tidak ingin putriku tumbuh dengan dibayangi oleh kenangan yang kelam. "Papa pulang, ya?" Namun, wajahnya terlihat begitu berbinar. Membuat diriku menghela napas lega karena itu artinya Latya tidak melihat kejadian tadi.

Wounds in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang