Empat Puluh Empat

1.9K 87 14
                                    

Wounds In Marriage

Bab Empat Puluh Empat
***

Hai.
Sebelum membaca cerita ini, alangkah baiknya follow akun saya dulu, ya. Saya berharap sekali bisa mendapatkan 1K followers. Terima kasih.

Selamat membaca.

***

Anggya POV

Pernyataan Devan benar-benar membuatku terkejut. Untungnya setelah itu kami membahas hal yang jauh lebih penting, yaitu proyek. Mungkin Devan merasakan sungkan untuk melanjutkan topik itu karena aku hanya diam. Namun, tetap saja sekarang suasananya menjadi canggung. Bahkan Febby pun tidak banyak berbicara.

"Jadi, proyek ini akan kita mulai di akhir bulan, ya? Saya akan mengajak kalian untuk meninjau tempatnya nanti." Devan yang berbicara paling banyak di antara kami. "Saya jamin lokasinya stategis, pasti banyak konsumen yang datang. Karena memang tempat itu termasuk jalan utama di sana yang paling sering dilewatin."

Jujur saja pikiranku sekarang masih terfokus pada perkataan Devan tadi. Sehingga topik proyek tidak lagi menarik perhatianku. Aku hanya mengangguk saja. Febby pun melakukan hal yang sama. "Omong-omong aku juga ingin sekali buka kafe? Suamiku juga mau ikut membantu kalau proyek ini. Kalian mau gabung?" Pertanyaan Febby membuatku tersenyum semangat. Tanpa pikir panjang aku pun mengangguk.

Namun, Devan menggeleng pelan. "Sori, Feb. Tapi kalau bisnis makanan saya udah ada restoran. InsyaAllah akan buka cabang baru lagi di Jogja."

Febby mengangguk dan berkata, "Oh, it's okey, Dev. Sama sekali nggak masalah." Dia tersenyum.

Setelah beberapa menit kami mengobrol tentang cabang butik yang akan dibuka di Bandung, kami pun memutuskan untuk menutupnya. Febby harus pergi karena Zayn, suaminya menelepon. Kini tinggal aku dan Devan. Ketika aku berdiri di depan kafe, Devan yang baru selesai menerima telepon menghampiri. Dia berdiri di dekatku.

"Mau pulang bareng, Anggy?" Devan merapikan lengan kemejanya. "Aku bisa antar kamu sampai rumah." Dia tersenyum.

Aku tersenyum, canggung sekali. "Mungkin aku akan naik taksi, Dev." Dia menatapku, lantas mengangguk. "Terima kasih banyak untuk tumpangannya."

Devan hanya mengangguk singkat sekali lagi.

Saat Devan mulai mengambil langkah, tanpa sadar aku menghela napas. Namun, tiba-tiba langkah lelaki itu terhenti. Bahkan Devan pun membalikkan tubuhnya dan kembali menatap diriku. Membuatku menahan napas, sekaligus bingung melihatnya.

"Anggy, mungkin kata-kata saya sudah kelewatan waktu itu. Tapi saya benar-benar tidak berbohong. Saya hanya mengutarakan apa adanya."

Mendengar perkataan Devan, aku mengangguk. Tersenyum canggung kepadanya. "Aku mengerti, Dev. Terima kasih untuk kejujurannya. Tetapi aku masih belum siap untuk membuka hati lagi."

Devan hanya tersenyum.

***

Tasya POV

Aku segera menghubungi Mas Naufal. Bagaimana pun juga aku harus mencabut gugatan cerai untuk lelaki itu. Berkali-kali aku mencoba menghubungi dirinya, tetapi panggilanku tidak kunjung dijawab. Membuatku kesal dan menghela napas gusar. Maka, aku pun memutuskan untuk datang ke rumah. Barangkali sekarang dia ada di sana. Aku harus segera memohon kepada lelaki itu. Mas Naufal semestinya luluh lagi kepadaku.

Wounds in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang