Delapan

1.4K 70 18
                                    

Wounds In Marriage
Bab Delapan

***

Anggya FOV

Malam ini Latya demam. Aku berusaha untuk mengompresnya dengan air hangat, tetapi panasnya tidak kunjung turun. Aku cemas sekali rasanya, apalagi ketika berkali-kali aku menelepon Mas Naufal, tetapi lelaki itu tidak kunjung menjawab. Ini sudah pukul sembilan malam, mengapa dia belum pulang? Aku memutuskan untuk menghubungi kantor, yang memang hanya boleh aku lakukan jika ada hal urgent, tetapi seorang wanita di ujung sana bahkan mengatakan kalau hari ini suamiku tidak masuk kantor. Dan kalau pun memang masuk, seharusnya sudah pulang karena hanya tersisa beberapa orang saja di kantor yang hari ini mendapatkan jam lembur.

Jantungku mencelos rasanya. Benar-benar merasa dibohongi olehnya. Setelah melepaskan ponsel dengan sembarangan, aku melangkah lunglai ke belakang untuk menemui Bibi. Meminta tolong kepada wanita itu. Lalu Bibi memanggil Pak Supir dan tubuh Latya pun diangkat oleh lelaki tua itu. Sementara aku memegang dinding dengan lemas, lalu perlahan terduduk lesu. Aku merasakan jika perutku sedikit nyeri rasanya. Anggya, Dokter Arsyia sudah berkali-kali mengatakan kepadamu untuk tidak banyak pikiran.

Bibi berteriak begitu melihatku. "Ya Gusti, Non!" Wanita itu segera membantuku untuk berdiri. Bibi membawaku ke sisi kasur. "Lebih baik Non tetap di rumah, biar nanti Bibi yang temani Latya di klinik," katanya dengan wajah cemas.

Aku menggeleng. Tidak mungkin aku meninggalkan anakku yang sedang sakit. Percayalah, jika mungkin seorang Ayah bisa tega meninggalkan anaknya, tetapi seorang Ibu tidak akan bisa. Latya ibarat mutiara penting yang harus aku jaga. "Aku nggak apa-apa, Bi. Tadi cuma agak kram sedikit." Lalu aku menunduk dan mengelus perutku. "Kamu baik-baik saja kan ya, Nak? Anak Mama pasti kuat."

Bibi hanya bisa pasrah ketika aku masuk ke dalam mobil. Wanita paruh baya itu lalu melangkah kembali ke rumah, ternyata mengambil jaket untukku. Beliau lalu duduk di bagian belakang dan memangku Latya karena aku tidak bisa. Ingin sekali aku mengucapkan beribu terima kasih kepada wanita yang sudah kuanggap seperti Ibu sendiri itu. Beliau benar-benar terlihat tulus kepada kami.

"Kalau Latya sudah sembuh, kita makan ya, Bi?" tanyaku kepada wanita itu. Sebab Bibi kerap kali menolak jika aku ajak pergi keluar untuk sekadar jalan-jalan. "Mau, ya?"

Bibi tersenyum. "Iya, Non. Yang penting sekarang Non Latya nggak kenapa-kenapa. Bibi cemas pisan sama Non Latya."

Aku mengangguk, lalu melihat Latya yang dipangku oleh Bibi. Bibirnya pucat. Maafkan Mama ya, Nak? Aku berkata dalam hati. Kami sampai tidak lama kemudian di klinik. Pak Urip, supirku segera membawa tubuh Latya ke dalam. Sementara Bibi menuntunku untuk turun dari mobil. Aku benar-benar menyusahkan sekali rasanya. Setelah menemui pihak perawat dan mengatakan keluhan yang dialami oleh Latya, akhirnya anakku diinfus. Sementara itu, aku sibuk mengurus administrasi. Bibi yang masih berdiri di dekatku saat itu, seolah enggan meninggalkanku.

"Aku bisa sendiri, Bi," kataku. "Lagipula mau nelepon Mas Naufal lagi setelah ini. Bibi naik duluan aja ke dalam. Kasihan Latya." Karena Latya sudah dibopong oleh Pak Urip untuk masuk ke ruang rawat.

"Iya, Non Anggi. Hati-hati, ya."

Aku tersenyum. Benar-benar mulia sekali hati wanita paruh baya itu. Setelah itu pergi keluar, mengeluarkan ponsel dan kembali berusaha menghubungi Mas Naufal. Tetapi, lagi dan lagi lelaki itu tidak menjawab panggilanku. Aku memasukkan kembali ponsel ke tas, lalu mengeratkan jaket yang membungkus tubuh. Udara malam ini dingin sekali hingga hatiku menggigil rasanya.

Wounds in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang