Empat Puluh Enam

1.5K 61 8
                                    

Wounds In Marriage

Bab Empat Puluh Lima
***

Hai.
Sebelum membaca cerita ini, alangkah baiknya follow akun saya dulu, ya. Saya berharap sekali bisa mendapatkan 1K followers. Terima kasih.

Selamat membaca.

***

Anggya POV

Menurut penuturan Ayah, ibu di rumah sakit ditemani oleh tanteku. Ibuku masih belum sadarkan diri. Keluarga besar kami tengah berkumpul di rumah sekarang. Dian terpaksa dikurung dalam kamar, sebab berusaha keras menyerang Tasya. Lalu aku meminta Febby untuk pergi menemani adikku itu. Dengan membawa serta Latya dan Ares.

Aku bahkan belum sempat melihat Abimanyu. Sebab kini aku berhenti di ruang tamu dan menemukan Tasya terduduk di sofa. Wajahnya terlihat angkuh. Mengapa dia menjadi seperti ini? Lalu, aku melihat bola matanya membulat tatkala melihat Naufal melangkah masuk. Saat aku menjatuhkan diri ke sofa, Tasya malah berdiri dan berlari memeluk Naufal. Orang-orang tampak terkejut melihat hal itu. Naufal sendiri segera melepaskan Tasya dari tubuhnya. Namun, Tasya terisak-isak memeluk kakinya dan berkata, "Mas, tolong aku. Di sini aku tidak bersalah, Mas. Kamu harus percaya sama aku."

Bukankah mereka sudah bercerai? Mengapa Tasya begitu tidak tahu malunya melakukan hal ini di depan banyak orang? Sementara itu, aku melihat Naufal tampak risih. Namun, dia sebisa mungkin tidak bersikap kasar kepada Tasya. Hal itu entah kenapa membuat dadaku nyeri. Teringat dengan sikap kasarnya kepadaku beberapa kali. Namun, sudahlah. Semua sudah berlalu. Aku tidak ingin mengungkit luka itu lagi. Sekarang sudah ada Devan di dalam hidupku. Lelaki itu tampak dengan tenang berdiri di antara yang lain. Dia bahkan melemparkan senyum menenangkan untuk diriku.

"Kita sudah bercerai, Tasya. Lagipula kamu memang bersalah di sini. Tidak usah mencari pembelaan."

Tasya masih terisak-isak di sana. Dia menangis seperti orang kerasukan. Membuatku memutar bola mata karena jengah sekali melihat tingkahnya.

Tiba-tiba terdengar suara mobil terparkir dan dua orang polisi datang. Aku belum memanggil polisi sama sekali. Mungkinkah Ayah yang melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib? Mendadak, Tasya beralih ke arahku dan bersimpuh di kakiku. Dia terisak semakin keras. "Anggya, tolong aku. Maafkan aku, Anggya. Sungguh aku tidak sengaja saat mendorong Ibu. Jangan biarkan polisi membawa diriku." Dia memegang kakiku dengan erat dan tersedu-sedu di sana.

Sebenarnya aku kasihan dengannya. Dia pasti sekarang tidak mempunyai seseorang sebagai sandaran. Dia juga pasti tidak memiliki rumah untuk berteduh lagi. Namun, keputusanku untuk membuatnya jera sudah bulat. Tasya harus benar-benar menyadari semua kesalahannya. Dia harus mengerti bahwa apa yang dia lakukan selama ini tidak benar. "Meminta maaf sangat mudah, Tasya. Lari dari tanggungjawab juga sangat mudah. Tetapi, mengakui kalau kita bersalah sangat sulit. Dan tampaknya kamu pun demikian."

Tasya mengangkat kepalanya, menatapku dengan bola matanya yang penuh air. Bahkan sekarang rambutnya sudah berantakan. "Lo pikir gue butuh nasihat dari lo? Nggak sama sekali, Gy! Gue udah capek dengan semua ini! Lo memang selalu menang! Dari dulu lo selalu menang!" Dia lalu bangkit berdiri dan menampar pipiku.

Devan bergerak maju. Lantas menarik Tasya. Namun, aku tersenyum kepada Devan dan menggeleng pelan. Lagipula di sini sudah ada polisi. Biarkan saja Tasya menjadi urusan mereka. "Silakan bawa wanita ini, Pak," kataku dengan nada tenang. Sementara Tasya melotot. Dia berusaha memberontak.

Wounds in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang