Tiga Belas

1K 43 3
                                    

Wounds In Marriage
Bab Tiga Belas
***

Anggya POV

Hari ini Mas Naufal akan pergi keluar kota. Lelaki itu bilang ada urusan pekerjaan. Semalam aku sudah bergegas mempersiapkan semua hal yang akan dia butuhkan selama di luar kota. Bahkan aku baru istirahat ketika sudah larut malam. Wajah Mas Naufal tampak begitu cerah pagi ini. Bahkan saat kami berada di meja makan, lelaki itu mencium puncak kepalaku dengan sayang. Ia bahkan mengelus pipiku dengan begitu manis. Entah mengapa aku malah aneh dengan sikapnya yang mendadak kembali menghangat. Bukannya aku tidak bersyukur, tetapi Mas Naufal memang sudah membuat diriku menjadi pribadi yang tidak lagi seratus persen mempercayainya.

"Memangnya kamu akan pergi ke mana, Mas? Bandung? Jogja?" Aku menyempatkan diri untuk berbasa-basi. Meskipun sebenarnya sangat enggan. Tetapi aku tahu bahwa Latya tidak akan suka dengan suasana dingin yang tercipta apabila aku terus saja mengacuhkan Mas Naufal. "Dan kira-kira berapa lama kamu di sana? Seminggu?"

"Ya aku akan pergi ke Bandung, Sayang. Hanya tiga hari saja."

Latya mendadak menatap ke arah ayahnya. "Papa aku hari Rabu ada pentas di sekolah. Aku ikut maju, lho, Pa! Papa pasti datang, kan?" Gadis itu memandang ayahnya dengan penuh harap.

Mas Naufal berhenti sarapan dan menatap ke arah putrinya. "Hari Rabu berarti  ... " Lelaki itu tampak berpikir. "Oke, Papa, bisa datang ke sekolah kamu, Sayang. Papa akan pulang hari Selasa," katanya yang berhasil membuat Latya tersenyum.

"Papa janji?" Gadis kecil itu mengangkat jemari kelingkingnya ke udara.

Aku melihat Mas Naufal tersenyum menyadari tingkah putrinya yang mungkin terlihat menggemaskan. "Iya, Papa janji, Sayang," kata Mas Naufal seraya menautkan jemari kelingking mereka. Seolah mereka dua orang teman yang tengah membuat sebuah perjanjian.

Aku menatap Mas Naufal, ingin ikut berbicara. "Latya bilang sama aku kalau seminggu sebelum sakit kemarin, dia sering banget latihan main piano di sekolah karena katanya ingin menampilkan yang terbaik supaya kamu bangga, Mas." Memang sejak kecil Latya sudah menunjukkan keterkaitan di bidang seni musik. "Semoga kamu nggak kecewain dia, Mas," sambungku penuh harap.

"Aku pasti akan datang," kata Mas Naufal seraya tersenyum.

Setelah selesai sarapan, aku dan Latya pun mengantarkan Mas Naufal keluar. Latya memeluk ayahnya dengan erat, seolah tidak ingin dilepaskan. Sementara aku hanya tersenyum kecil saat Mas Naufal menoleh ke arahku, lalu menaruh keperluannya seperti koper, ke dalam mobil. Sementara itu aku mendengar Latya yang tergelak keras karena ternyata Mas Naufal menciumnya.

"Tolong jaga Bunda dan adikmu yang masih diperut ya, Sayang," tutur Mas Naufal seraya menatap Latya. "Selama Papa pergi, kamu tidak boleh nakal. Jangan membuat perkerjaan Bunda menjadi berat, oke?" Mas Naufal mencubit hidung gadis itu.

Sementara Latya membentuk sikap hormat. "Siap, bos!" serunya.

Setelah selesai dengan Latya, Mas Naufal menghampiri diriku dan mencium keningku sekilas. "Jaga kesehatan ya, Sayang. Jangan sampai lupa sarapan. Jangan lupa juga untuk meminum susu dan jangan terlalu kecapaian." Lalu Mas Naufal meraih kedua telapak tanganku, menggenggamnya. "Aku mencintaimu, Anggya." Dia mencium punggung telapak tanganku.

Aku menahan napas, perlakuan manisnya itu. Aku memutuskan untuk mengangguk pelan dan menatap bola matanya. "Terima kasih, Mas," kataku dengan sorot mata yang kini melembut. "Aku juga mencintaimu."

Wounds in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang