Dua Puluh Satu

1.4K 74 17
                                    

Wounds In Marriage
Bab Dua Puluh Satu
***

Tasya POV

Hari pertama aku bekerja di perusahaan teman Mas Naufal, semua berjalan dengan baik kurasa. Aku bekerja sebagai divisi umum dan semua rekan kerjaku baik. Aku berusaha keras menjaga image dengan serius bekerja, aku tidak ingin karyawan lain menyepelekan diriku karena mereka berpikir aku bisa masuk ke sini atas rekomendasi dari teman bosnya. Dan kalau pun setelahnya tetap ada yang men-judge diriku dengan sebutan itu, maka biarkan sajalah. "Hei, Tasya, ya?" sapa seorang wanita dengan ramput pendek berwarna cokelat gelap. Giginya gingsul. Aku lantas tersenyum mendengar sapaan darinya. "Kenalin gue Karina. Kita bisa jadi teman yang baik kalau lo mau?" Dia melangkah keluar dari kubikelnya dan berdiri di depanku. Tersenyum.

Membalas senyumannya, aku lantas berdiri dan menatapnya. "Boleh banget," kataku setelah jabatan tangan itu selesai. Meskipun aku tahu setiap pertemanan yang aku bangun pasti akan berakhir. Aku selalu memutuskan hubungan pertemanan dengan siapa pun dengan perlahan menjauh.

"By the way, lo udah selesai belum?" Dia lalu memutar tubuhnya kembali ke kubikelnya, membereskan berkas-berkas yang tidak tersusun rapi. "Kita makan bareng, yuk? Lima belas menit lagi pasti kafenya bakal penuh banget." Aku mengangguk semangat dan segera membereskan mejaku.

Kami melangkah ke sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari kantor. Karina ternyata cukup populer, sebab hampir semua karyawan dari divisi lain mengenal dirinya. Aku merasa cukup beruntung bisa berteman dengannya. Suasana kafe belum terlalu ramai ketika kami melangkah masuk. Banyak sekali karyawan lain yang menyapa Karina, lalu tersenyum kepadaku.

Aku dan Karina memesan makanan karena memang sekarang sudah jam istirahat. Tiba-tiba Karina menarik lenganku. Dia berbisik pelan, "Lihat ke pintu masuk, deh. Itu dia Pak Devan, bos kita. Ganteng banget, kan? Orangnya juga loyal."

Loyal? Di dalam hati aku menjadi bertanya apakah dia sudah memiliki istri atau belum? Tetapi harus aku tahan hal itu karena tidak ingin Karina beranggapan tidak baik kepada diriku. "Berarti bagus dong, ya. Ganteng plus loyal." Aku berusaha bersikap biasa saja. Bahkan kini mulai menyeruput minuman yang dibawakan oleh waitress ke meja kami. Sementara makanannya belum sampai. Aku kadang bertanya-tanya apakah itu sebuah trik tersendiri? Menghidangkan minuman lebih dahulu agar ketika makanan sampai, pembeli memesan minuman lagi?

"Kabar burungnya sih, bos Devan baru aja cerai dari istrinya." Karina masih terus bercerita dan aku menyukai hal itu. Sebab aku tidak perlu bertanya-tanya dan bisa tetap menjaga image-ku di kantor. "Gemes banget, kan? Ganteng, loyal, kaya, plus duda pula!" Dia lalu terkekeh sendiri.

Mengabaikan Karina yang masih sibuk tertawa kecil, aku memandang ke arah Devan yang memang terlihat begitu tampan. Postur tubuhnya tegap dan tinggi. Rahangnya terlihat keras. Kulitnya sawo matang. Alisnya tebal, hidung menjulang tinggi dan bola mata lebar. Dia terlihat seperti lelaki Arab dengan wajah seperti itu. Siapa pun pasti tidak akan bosan untuk menatap wajahnya. Tidak terkecuali diriku. Aku bahkan mulai membayangkan Devan pasti memiliki dada bidang yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus, perutnya seperti roti sobek yang begitu menggoda.

"Ya ampun Tasya! Lo bahkan sampe nggak berkedip melihat Pak Devan!" Karina ini termasuk manusia yang cerewet sekali. Aku lantas menimpuk gulungan tisu ke arahnya. Takut ada karyawan lain yang mendengar perkataan Karina. "Ampun! Ampun! Santai aja kali, Sya. Gue cuma bercanda."

Tepat saat itu Mas Naufal menelepon diriku. "Halo?" kataku. Sementara seorang waitress datang menaruh pesanan kami. Karina sudah sibuk dengan menu yang dipesannya.

Wounds in MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang