Angreni melenguh. Tidurnya mulai tak nyaman. Hidungnya berkerut karena bau param beserta rempah-rempah menusuk indra penciumannya. Karena tak tahan, ia membuka mata dan hal pertama adalah kamar yang beberapa hari belakangan ia tempati. Tak ada siapa-siapa di sini. Rasanya sunyi.
Gadis kecil itu mencoba bangkit dari rebah setelah menyingkirkan selimut yang membungkus tubuh. Kepalanya sedikit pening, tapi tak terlalu mengganggu. Tadinya, ia berniat untuk turun dari dipan, tapi urung dirinya baru menyadari pergelangan kaki kanannya dibebat kain perban beserta sisa-sisa ramuan yang telah mengering di sekelilingnya.
Untuk sesaat ia terdiam sembari mengingat-ingat apa yang telah terjadi padanya. Hutan. Akar-akar besar pepohonan. Lubang di tanah. Desisan hewan melata. Rawisrengga.
Tunggu.
Rawisrengga...
Ah, sekarang ia ingat. Kala itu ia bersama dua seniwati tengah mengobati bekas luka di punggungnya, lalu melihat Rawisrengga keluar kamar. Ia kemudian mengikutinya sampai ke hutan. Lalu, ia pasti tak sadarkan diri setelah menerima gigitan hewan yang ... kemungkinan sarangnya telah ia rusak.
Sudah berapa hari berlalu sejak ia tak sadarkan diri?
Wajahnya mendadak bersemu. Detak jantungnya tak keruan ketika teringat lagi adegan di mana Rawisrengga mendekap dan menggendongnya. Ia menekan dadanya kuat-kuat dengan harapan debaran ganjil di dadanya berhenti. Ia sadar betul setelah beberapa hari belakangan merenung. Perasaan asing yang terus-menerus muncul ketika Rawisrengga di dekatnya makin jelas, membuatnya terikat, menarik paksa kesadarannya untuk memerhatikan tiap gerik Rawisrengga. Bahkan hal terkecil dari Rawisrengga tak luput darinya.
Angreni mendesah, tanpa sadar kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Harum cendana dan rempah yang menguar dari tubuh Rawisrengga masih mengantung di ujung hidungnya. Ia seolah-olah mampu menghidu wangi hangat itu di seluruh ruangan.
Tiba-tiba, Angreni menjatuhkan tangannya. Tidak. Tidak. Ia belum boleh terhanyut. Ada hal yang harus ia lakukan. Ia harus mencari tahu dan memastikan bahwa terkaannya benar tentang padepokan ini.
Ia akhirnya turun dari dipan. Hal pertama yang menyambutnya setelah membuka pintu adalah sinar matahari yang menyengat. Sundial yang berada di tengah lapangan menunjukkan ghatita tiga. Di saat seperti ini, seluruh penghuni padepokan masih disibukkan dengan urusan masing-masing, ada yang berlatih, memperbaiki atau membersihkan peralatan musik, menjahit bagi para seniman perempuan, dan sebagainya. Ditambah, kalau tidak salah ingat sebentar lagi rombongan seni padepokan ini akan pergi jauh sekali menghadiri undangan dari para rama di sekitar kaki gunung Mahendra, tapi ia tak tahu letak persisnya di mana.
Awalnya ia hendak mencari Dharmaja, tapi ia membatalkan niat. Akhirnya ia memutar langkah menuju dapur karena perutnya dari tadi terus-terusan mengeluarkan bunyi gemuruh yang sangat memalukan. Menurutnya, Dharmaja bisa menunggu.
Di tengah perjalanan, Angreni tak sengaja menemukan Unengan dengan wajah murung. "Rayi, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya khawatir.
Unengan tersentak. Nampan kayu di tangannya hampir terjatuh, untungnya Angreni dengan sigap menyangga di satu sisi. "Kaka, kau sudah sadar? Sejak kapan? Bagaimana dengan kakimu? Apa kau baik-baik saja?"
Angreni tertawa, bingung bagaimana ia harus menjawab semua pertanyaan Unengan. "Aku baik-baik saja," katanya seraya memberikan gestur kalau dia sudah tak lagi merasa sakit. Ia memang tak berbohong. Nyeri di kakinya yang terkilir sudah tak terasa, bahkan saat melangkah. Mungkin seseorang telah memijatnya. Bekas gigitan ular di kakinya yang lain pun sepertinya sudah membaik, buktinya ia tak merasakan keanehan apapun pada dirinya.
Unengan tersenyum mendengar perkataan Angreni, tapi dengan cepat air mukanya kembali muram.
"Apa makanan itu buatku?" Angreni menunjuk nampan yang berada di tangan Unengan. Ada potongan daging bakar beserta sepiring rawon dan nasi hangat. "Sudah berapa lama aku tertidur? Aku betul-betul lapar sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Historical Fiction[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...