Detik berikutnya, Vivi tersadar. Saat melirik cermin, sosok yang tadi terpantul di sana menghilang seperti kabut, tergantikan dengan sosok yang ia kenal sebagai adik sepupu Galih. Rambut pendeknya, pipi dan mata bulatnya, seragam sekolah yang masih dikenakan menunjukkan kalau orang di belakangnya betul-betul Nabila. Diam-diam ia menghela napas lega.
"Sorry." Vivi menatap bocah itu lekat-lekat, sedangkan yang ditatap mulai salah tingkah.
"A-ada apa Neng Vivi?"
Vivi menggeleng. "Kamu udah selesai?" tanyanya sambil melirik ke arah tangannya dari cermin.
"Eh, ma-maafin Nabil." Nabila gelagapan, lalu cepat-cepat menyelesaikan kepangan rambut Vivi.
Setelah dirasa tak ada lagi yang Vivi butuhkan, Nabila memutuskan untuk pulang. Lagi pula jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam sore dan sebentar lagi Galih pulang bersama dengan bibinya. Mereka berdua pasti akan kemari dulu untuk menengok keadaan Vivi. Sayangnya, saat ia berpamitan, tanpa diduga Vivi memintanya untuk menginap, dengan alasan tak ingin tidur sendirian malam ini. Ia juga berkata tak mungkin meminta Mbok Sum untuk menginap apalagi Galih.
Bocah itu jelas kebingungan, tapi di saat yang bersamaan ia bahagia.
Tunggu sebentar, kenapa ia bahagia? Ini hanya ajakan menginap. Ia pernah beberapa kali menginap di rumah teman-temannya, tapi kenapa kali ini rasanya berbeda? Euforia yang ia rasakan lebih besar ketimbang saat Galih membelikannya sepatu yang sudah lama ia idamkan, atau ketika ibunya yang bekerja di luar negeri akhirnya pulang saat liburan.
Reaksi yang ditunjukkan bibinya dan Galih saat tahu perihal ini pun tak berbeda dari Nabila. Mereka kaget, tentu saja. Sebab, hanya Nabila satu-satunya orang yang mampu menembus sekat gelap yang sengaja dibangun Vivi. Mungkinkah ini bisa menjadi langkah awal bagi Vivi untuk kembali ke dirinya seperti sedia kala? Mereka langsung menyetujui permintaan Vivi tanpa pikir panjang. Mbok Sum bahkan mengajak Vivi untuk makan malam di rumahnya, tapi sayang gadis itu menolak.
Nabila yang tak ingin bibinya kecewa, menyela seakan-akan dirinya adalah juru bicara Vivi. "Mbok, Nabil dan Neng Vivi makan malam di kontrakan Neng Vivi aja, ya. Kalau Neng Vivi bolak-balik kan kasihan. Dia masih sakit."
Mendengar alasan Nabila, Mbok Sum mengerti dan akhirnya membiarkan mereka berdua makan bersama.
Usai makan malam, Nabila terbiasa belajar sambil mengerjakan tugas sekolah. Kebetulan ada tugas matematika yang belum ia rampungkan. Sialnya, tugas itu harus ia kumpulkan besok.
Bocah itu berkali-kali mengucek matanya yang berair. Lampu di ruang tengah kontrakan Vivi tidak terlalu terang. Memaksa penglihatannya untuk terus fokus di tempat minim cahaya membuat mata pedih dan gatal. Ia lalu menoleh ke kamar yang ditempati Vivi. Penerangan di dalam kamar sepertinya ... lebih baik.
Ah, tidak. Ia tidak ingin mengganggu Vivi yang sedang beristirahat.
Beberapa menit berlalu akhirnya Nabila menyerah juga. Bocah itu melenguh sambil menidurkan kepalanya di atas meja. Semangat belajarnya langsung menguap. Ia jadi ingin langsung tidur saja. Namun, kalau ia melakukan itu besok ia bisa kena masalah.
"Nabila."
Nabila tersentak bangun karena Vivi tiba-tiba menghampirinya. "Ya, Neng Vivi, ada apa?" tanyanya kaget sambil mengucek mata.
"Kamu bisa kerjakan tugas sekolah di kamar."
Selama beberapa saat Nabila terperangah. Vivi yang tak sabar segera menyambar tasnya, lalu membawanya ke kamar. Di belakangnya, Nabila tergopoh-gopoh mengikuti sembari mencerna apa yang tengah terjadi.
Di kamar, mereka berdua duduk di lantai yang dingin. Tadinya Nabila kira Vivi akan membiarkannya mengerjakan tugas sedangkan dirinya tidur, tapi nyatanya tidak. Vivi malah ikut duduk di sebelahnya sambil bertopang dagu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Ficção Histórica[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...