Paginya, Angreni terbangun dengan bingung. Kenapa ia bisa berada di kamar? Hal terakhir yang ingat adalah ia pergi ke sungai untuk menari, lalu ... menolong Miruda.
"Aku yang membawamu kembali," aku Dharmaja, tanpa ada niatan untuk menutupi apapun.
Angreni memandang kaget. "Lalu, bagaimana dengan Miruda? Kau memindahkannya juga?"
Mendengar nama Miruda disebut, rahang Dharmaja mengeras, tapi ia masih sudi untuk menjawab, "Dia meninggalkanmu di sana sendirian."
"Begitu, kah?" Walau Angreni sudah bisa menduga hal seperti itu akan terjadi. Namun, ia tetap tak bisa menyembunyikan rasa kecewa yang menyeruak. "Berarti, kau sudah tahu kalau Miruda pulang dengan keadaan terluka?"
Lelaki itu tak menjawab dan Angreni tahu apa artinya.
Dharmaja beranjak dari depan jendela lalu berjalan mendekati Angreni. "Maukah kau berjanji satu hal denganku?"
Angreni memandang Dharmaja lekat-lekat. Terdapat riak kekhawatiran yag memantul dari mata lelaki itu.
Dua tangan Dharmaja terangkat untuk membingkai wajah Angreni. "Jangan pernah berurusan dengan Miruda lagi, kau mengerti? Dia membencimu dan aku tak ingin kau terluka karenanya."
Secara spontan Angreni menghempaskan tangan Dharmaja. "Bagaimana bisa kau bisa berpikiran dia akan menyakitiku? Dia adikmu, kau tidak boleh berpikiran picik tentangnya," ujarnya tak percaya.
Dharmaja mengembuskan napas gusar sambil mengusap wajah. "Justru karena dia adikku, aku tahu perangainya. Tolong, mengertilah, Angreni," ucapnya sambil berbalik karena ia tak ingin Angreni melihat sisi lemahnya.
Selama beberapa saat Angreni memandangi punggung Dharmaja sambil menimbang keputusan mana yang harus ia ambil. Tak selang beberapa lama Angreni menghela napas panjang dan membalas, "Kalau itu yang kau mau, aku tak akan lagi berurusan dengannya."
Dharmaja tersenyum kecil, lalu menoleh ke jendela. Garis keemasan perlahan mengintip di cakrawala. Di luar pun ayam dan burung sudah sangat berisik mencari makan. "Hari ini jadwalku mencari kayu bakar. Kau mau ikut ke hutan bersamaku, Angreni?"
Angreni mengangguk kecil. "Tapi, setelah aku selesai membantu ibu membuat sarapan."
Ibu yang dimaksud oleh Angreni adalah ibunda Rawisrengga. Semenjak tinggal di padepokan, Angreni memang sangat dekat dengan wanita itu. Ia seolah menjadikannya sebagai pengganti sosok ibunya yang telah tiada. Dharmaja tak mempermasalahkan hal ini karena ia tahu wanita itu tak akan menyakiti Angreni.
Saat keluar kamar, harapan Angreni cuma satu; hari ini akan berjalan seperti biasa—seakan-akan masalah Miruda tak pernah terjadi. Sayangnya, harapannya tak terkabul karena kini hanya kebisuan menyelimuti seluruh penjuru rumah. Tak ada senyum teduh ibu, celoteh riang Unengan, atau sapaan ramah Rawisrengga yang biasa ia temui kala pagi. Raut wajah mereka terlihat sangat keruh, terutama Miruda. Ya, Miruda. Bahkan bocah lelaki itu melewatinya tanpa menunjukkan reaksi apapun, seolah-olah dirinya adalah eksistensi yang tak pernah ada.
Angreni memotong-motong sayuran dalam diam. Sesekali ia melirik ke arah ibu dan Unengan. Wajah ibu hari ini sangat pucat. Setelah tiba di tempat persembunyian ini kesehatan ibu memang agak menurun. Ketika ditanya tentang kondisinya, ibu selalu bilang bahwa dirinya baik-baik saja.
Karena tak tahan dengan kesunyian yang terjadi, Angreni akhirnya memberanikan diri untuk mencairkan suasana. Sayuran yang telah dipotong-potongnya disisihkan sementara. "Ibu," panggilnya seraya mendekati wanita itu.
"Ya?" Ibu membalasnya tanpa menoleh, sibuk dengan potongan daging yang tengah diris-irisnya. Dahi Angreni mengerut saat mendengar bunyi napas ibu yang tersendat-sendat dan berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Ficción histórica[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...