Selama ini hanya ada dua hal yang mampu menyita perhatian Dharmaja. Pertama, bagaimana caranya ia melepaskan diri dari bayang-bayang Rawisrengga. Kedua, bagaimana ia bisa bertahan hidup. Namun, setelah bertemu Angreni, tiba-tiba saja seluruh atensinya terpusat pada gadis kecil itu. Rasanya ia ingin mengetahui Angreni lebih dalam; tentang asal-usulnya, keluarganya, masa lalunya, dan semua hal yang belum ia ketahui. Berbekal niat tersebut, akhirnya pada suatu malam Dharmaja pun berinisiatif untuk bertanya.
Selama beberapa saat tak ada jawaban yang keluar dari mulut gadis kecil itu. Dharmaja mengira jika Angreni tak mau bercerita. Ia pun memerintahkan Angreni untuk tidur dan melupakan pertanyaannya barusan. Namun, ketika membalik badan, Angreni mendadak bersuara. Suaranya terdengar lirih bagai embusan angin. Dengan kepala tertunduk ia menceritakan masa lalunya yang tak lepas dari kemalangan.
Angreni berkata ia tak ingat berasal dari mana. Sebab selama ini ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah bersama kelompok kecil yang juga masih kerabat dekatnya. Meski hidup nomaden, Angreni mengaku ia cukup bahagia. Namun, kebahagaian itu terenggut ketika mereka memutuskan untuk singgah di sebuah desa di lereng Gunung Pawinihan.
Setelah beberapa hari mereka menetap, Gunung Pawinihan tiba-tiba mengamuk. Awan panas serta lahar yang menyembur dari puncaknya membuat keluarganya tercerai-berai. Ia bersama kedua orang tuanya lari hingga ke daerah Kahyunan* untuk menyelamatkan diri. Seolah kemalangan terus menghantui tiap langkah, sejumlah bretya dari Daha datang menyergap. Sampai di sini, Dharmaja seperti diingatkan akan sesuatu. Hanya saja ia tak ingin menyela dan membiarkan Angreni melanjutkan ceritanya.
Ayahnya kemudian mati saat ingin melindunginya. Sebelum mengembuskan napas terakhir, ia sempat memerintahkan ibunya untuk membawa dirinya pergi sejauh mungkin. Setelah beberapa waktu terlunta-lunta, mereka tiba di Kalang*. Di sana pun sepertinya nasib buruk tak jua berakhir karena keduanya kemudian diculik oleh seorang wli wasya* dan dipekerjakan sebagai budak. Karena tak tahan dengan kehidupan keras seorang budak, mereka berdua pun melarikan diri. Naas, tak lama kemudian keduanya tertangkap dan dijual kepada pemimpin perampok gunung. Pemimpin itu mengatakan jika mereka ingin bebas, mereka harus membeli diri mereka sendiri seharga sepuluh kali lipat dari harga yang dibayarkannya kepada si wli wasya.
Dhamaja merasa dadanya seperti dihantam godam. Ia pun bergegas merengkuh tubuh ringkih Angreni ke dalam pelukannya. "Kau bilang, ayahmu dibunuh bretya dari Daha. Kesalahan apa yang ayahmu lakukan, Angreni?" tanyanya dengan suara bergetar. Entah mengapa ia merasakan firasat buruk dari jawaban yang akan diutarakan Angreni nanti.
Angreni menggeleng ragu. "Tidak tahu. Tapi ... sebelum ibu membawaku pergi, aku sempat mendengar mereka menyebut kami sebagai orang Lwaram."
Lwaram. Negeri bawahan yang pernah dua kali memberontak. Yang pertama, rajanya, Wura Wuri berhasil menggulingkan Dharmawangsa—leluhurnya. Namun kemudian, Lwaram bisa ditaklukan oleh Airlangga. Sayangnya, dendam yang disimpan oleh keturunan Wura Wuri amat besar hingga mereka menggunakan kesempatan saat ayahnya merebut takhta Daha untuk kembali memberontak. Namun, tentu saja percobaan yang kedua juga gagal. Selicik apapun mendiang ayahnya, ia tetap menjunjung tinggi leluhur. Ayahnya tak akan segan untuk menghabisi siapapun yang berani mengusik ketentraman Daha.
Dharmaja merasa langit seketika runtuh di atas kepalanya. Firasatnya terbukti karena ia ingat betul saat usianya masih belia, ia pernah memimpin pengejaran sisa-sisa orang Lwaram yang berhasil melarikan diri ke Gunung Pawinihan. Namun, tanpa diduga gunung itu meletus. Kemudian, terdengar kabar beberapa orang Lwaram berhasil menyelamatkan diri ke daerah Kahyunan. Di sana, ia berhasi membunuh lelaki yang merupakan keturunan langsung dari Wura-Wuri.
Lelaki itu pun mengeratkan pelukannya. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Apakah ia harus tertawa atau mengutuk diri sendiri. Oh, apakah ini karma untuknya? Dulu, ia tak pernah ragu untuk membasmi orang Lwaram, tapi sekarang, ia malah melindungi Angreni—yang nyatanya merupakan keturunan terakhir dari Wura Wuri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Fiksi Sejarah[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...