Sudah seminggu berlalu sejak Bu Lina memintanya untuk masuk ke sanggar, selama itu pula ia hanya pernah menghubungi sekali--entah dia mendapatkan nomornya dari mana, bisa jadi dari Nabila. Vivi sendiri tak ambil pusing karena ia sama sekali tak berniat kembali ke dunia tari, mungkin. Mungkin ...
Vivi mengembuskan napas gusar. Oke, kalau boleh jujur, ada sebagian dari dirinya yang terus berteriak memerintahkannya untuk kembali. Tari adalah dunia yang dicintainya, tempat di mana ia bisa bebas mengekspresikan diri. Namun, ia sadar hidupnya tak lagi sama seperti dulu dan kembali ke dunia itu bukan pilihan yang tepat.
Entah sudah berapa lama Vivi tenggelam dalam pikirannya sendiri-untungnya minimarket dalam keadaan sepi dan bosnya sedang berada di belakang. Ia pasti bakal kena tegur karena kedapatan melamun di jam kerja. Tiba-tiba, bel penanda pada pintu minimarket berbunyi, diikuti dengan kemunculan sosok gadis tinggi semampai yang Vivi kenali sebagai keponakan Mbak Irma.
"Selamat siang, selamat berbelanja," ucap Vivi dengan keramahan palsu.
Gadis itu melengos, seakan-akan wujud Vivi terlihat seperti sampah yang tak sedap dipandang. Ia kemudian berjalan lurus dan berhenti di tempat Mbak Irma tengah membereskan display. Vivi menyumpahinya dalam hati. Ia tak tahu ada masalah apa dirinya dengan gadis itu, tapi ia bersumpah untuk membalas perlakuannya beribu kali lipat. Sebut saja ia pendendam karena memang benar begitu kenyataannya.
Di lain tempat, Galih tampak resah. Harusnya ia tak langsung menyetujui ajakan Bu Silvia untuk makan siang di rumahnya--wanita itu berdalih kalau undangan ini sebagai bentuk permintaan maaf karena minggu lalu Kris tantrum di tengah keramaian pasar malam. Sungguh, ia gugup. Bukan karena Bu Silvia, melainkan sosok Kris yang selama ini selalu memenuhi pikirannya. Ia seperti merasa telah mengenal Kris lama, lama sekali. Namun, ia tak tahu pasti seberapa lamanya itu.
"Galih." Sosok Bu Silvia muncul tak lama setelah Galih memencet bel. "Ayo, ayo masuk," ajak wanita itu sambil membukakan pintu. "Aduh, maaf ya, rumahnya agak berantakan."
Galih mengangguk kaku. Tangannya gemetar dan basah keringat dingin. Sesampainya di ruang tamu, senyum tulus terbit di wajahnya saat melihat tingkah ajaib Kris. Pasalnya saat ini, Kris dengan tubuh lelaki dewasa tengah meloncat-loncat di atas sofa.
"Kris, Kris, behave. Ini ada tamu." Bu Silvia mengingatkan sambil menarik-narik pelan lengan Kris, tapi sayangnya ia tak menurut. Baru ketika Galih memanggilnya, tanpa diduga, Kris menurut. Pemuda itu kemudian duduk sambil memandangi langit-langit. Sayangnya, ketenangan itu tak berlangsung lama karena sekarang tubuh Kris mulai berayun ke depan dan ke belakang. Dari mulutnya pun terdengar gerungan tak koheren.
"Aduh, Galih, maaf ya." Bu Silvi meringis ketika ayunan tubuh Kris makin menjadi. Bahkan sofa yang didudukinya ikut bergeser. "Ayo, mari duduk. Anggap aja rumah sendiri."
"Terima kasih," katanya sambil membungkuk sopan. Galih sadar betul jika ruang tamu ini cukup luas, ada beberapa sofa kosong yang tersedia. Namun, yang dipilihnya adalah sofa panjang yang sudah lebih dulu ditempati Kris.
"Saya ke belakang dulu nyiapin meja. Kamu di sini dulu sama Kris nggak apa-apa, kan? Nanti bapak juga dateng. Dia lagi ke warung sebentar." Bapak yang dimaksud Bu Silvia adalah Om Jodi-suaminya.
Galih menggeleng. "Terima kasih, Bu, sudah repot-repot."
Sepeninggal Bu Silvia, Galih mencoba untuk berkomunikasi dengan Kris. Selama beberapa hari belakangan ini ia sudah menjelajahi internet mencari cara yang tepat. Setelah menyingkirkan pikiran negatif yang memenuhi ruang kepala, akhirnya Galih mencoba.
"Halo, Kris," sapanya dengan suara selembut mungkin.
Kris tak merespon, tapi Galih tak menyerah. Ia terus mencoba lagi. Dipercobaannya yang kelima, Kris tiba-tiba memberikannya selembar kertas yang sudah sangat lusuh. Mungkin sudah lama diremas-remas olehnya. Setelah memberikan kertas itu, Kris lari menuju tangga. Galih sempat ingin mengejar, tetapi suami dari Bu Silvia sudah keburu kembali dari warung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Historical Fiction[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...