Beruntung, Vivi bukanlah jenis orang yang akan terlonjak jika terkejut. Jika tidak, bisa dipastikan ia akan berakhir kehilangan keseimbangan dan meluncur jatuh tanpa sengaja; meski secara teknis tadi ia memang berniat untuk terjun ke laut.
"Siapa itu?" tayanya, menyelidik.
Ia yakin seratus persen kalau sejak tadi ia sendirian, menilik dari lokasi yang ia pilih ini bukanlah tempat favorit bagi para wisatawan. Apalagi hari mulai gelap, ia bisa jamin kalau tak akan ada orang yang berani ke tempat ini, kecuali orang yang ingin bunuh diri.
Firasatnya berkata untuk mengabaikan suara itu, tapi ia terlalu penasaran. Akhirnya ia menoleh ke belakang lalu bergerak turun dari atas pagar pembatas.
"Siapa di sana?" tanyanya lagi. Mata bulatnya bergerak ke segala penjuru. Kepalanya menoleh kanan dan kiri, mencari siapa gerangan yang telah mengacaukan rencana bunuh dirinya itu. Sayangnya, yang ia cari tak nampak di mana-mana. Sejauh mata memandang, yang ada hanyalah hamparan rumput dan bebatuan.
"Anak gadis nggak baik ada di sini, lho. Apalagi sekarang mau malam."
Gadis itu spontan menoleh ke kiri saat suara itu terdengar lagi. Matanya membola ketika mendapati seorang lelaki tinggi dengan rambut ikal yang panjangnya nyaris melebihi ujung telinga kini tengah berdiri di sampingnya.
"Kenapa? Bisa aja, dong, kagetnya. Jangan melotot begitu. Serem," ucapnya sambil menumpukan bobot tubuhnya dengan sebelah tangan. Ia pun dengans antai bersandar pada pagar pembatas.
"Siapa Anda?" tanyanya ketus.
Laki-laki itu menyengir. "Nggak penting juga siapa saya. Saya cuma mau ingetin kamu supaya jangan lompat."
Vivi mendengus jengkel. "Anda punya hak apa sampai saya harus menuruti kata-kata Anda?"
"Kayaknya, sih, nggak ada." Laki-laki itu berubah posisi. Sambil menghadap laut lepas, ia bersedekap. "Tapi yang pasti, saya bisa jamin kalau perjalanan jatuh ke bawah itu nggak enak."
Vivi memasang senyum mengejek. "Heh, memangnya Anda tahu apa?"
"Oh, saya tahu banget," katanya seraya menyisir helaian rambutnya yang terbang terbawa angin ke belakang. "Karena ... saya juga pernah jatuh ke sana."
"Maksudnya?" Vivi memandang bingung, juga sedikit curiga.
Si lelaki tersenyum miring. "Saya pernah jatuh ke sana ... dan mati."
Vivi berdecak. "Bullshit," ucapnya jijik. Sebab, mau dilihat dari manapun si lelaki masih terlihat segar bugar tanpa adanya luka-luka yang menghiasi tubuh. Dua kaki panjangnya yang terbungkus celana kain hitam pun masih menapak di tanah.
Dengan seringaian terpatri di wajah, si lelaki mendekat. Vivi refleks mundur selangkah.
"Mau apa Anda? Saya bisa teriak sekarang," ancam Vivi. Sejujurnya, ia mulai takut. Bisa saja, kan, lelaki ini adalah orang jahat yang akan memerkosanya.
Si lelaki kemudian mengulurkan tangan. Namun, belum sempat ia berhasil menyentuh wajah Vivi, Vivi sudah terlebih dulu menghindar.
"Saya betul-betul bakal teriak. Jangan macam-macam sama saya!" Vivi berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan getar pada suaranya. Di saat seperti ini ia harusnya lari. Namun sialnya, tungkainya terasa seperti terpasung di tanah hingga ia tak bisa ke mana-mana.
Si lelaki mendengus geli. "Silakan aja teriak, tapi saya bisa jamin nggak bakal ada orang yang bisa tolongin kamu sekarang," ucapnya enteng. Dengan cepat ia meraih lengan Vivi, menariknya dengan kuat hingga bahunya membentur dada si lelaki. Di tengah-tengah keterkejutan, Vivi tak menyadari kalau sebuah kecupan ringan mendarat bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Tiểu thuyết Lịch sử[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...