Sepanjang pagi Vivi terus memikirkan hal-hal ganjil yang ia alami belakangan, terutama dengan mimpi semalam, serta kejadian tadi pagi ketika ia mendapat sebuah penglihatan aneh itu. Ia pandangi lagi telapak tangan kirinya yang tertempel plester luka. Sebenarnya apa yang direncanakan Yang Kuasa? Tak bisakah Ia berhenti mempermainkannya seperti ini?
"Vivi."
Vivi berdecak ketika sosok Mbak Irma muncul dari balik rak. "Ya, kenapa, Mbak?" sahutnya sambil berpura-pura merapikan susunam botol-botol sampo yang berada di rak bagian bawah. Ia sengaja melakukan itu agar Mbak Irma percaya kalau sedari tadi ia bekerja dan bukannya melamun.
"Kamu tolong jaga kasir dulu, ya. Saya mau ke belakang."
Vivi menarik napas panjang, lalu berjalan menuju meja kasir tanpa banyak berkata lagi.
Sepeninggal Mbak Irma, suasana minimarket menjadi lebih sepi. Hanya desau pendingin ruangan dan detik jam dinding yang menemani. Vivi kemudian menghela napas seraya menyapukan pandangannya ke segala penjuru. Di saat seperti ini ia merasa sangat kesepian, seperti ada ruang hampa yang muncul di dadanya, lalu tiba-tiba menghisapnya ke dalam kegelapan tak berujung.
Mama ... papa ...
Setitik air mata terjatuh tanpa disadari.
Gadis itu refleks memejamkan mata. Sebelah tangannya terangkat untuk mengusap genangan air mata yang membuat pandanganya buram. Ketika ia membuka kembali matanya, Vivi tiba-tiba tersentak melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya.
Beberapa gadis berbalut kain jarik dan selendang warna-warni menari di sekelilingnya. Mahkota bunga dan perhiasan perak menghiasi kemolekan tubuh mereka. Gerakan luwes mereka membuai mata, melenggak-lenggok lalu berputar mengikuti lembutnya alunan gamelan. Sesekali, gadis-gadis itu mengibaskan selendang layaknya bidadari yang tengah mengarungi kayangan.
Vivi seketika menahan napas saat mendapati seorang pemuda yang duduk bersila di hadapannya menatap dalam-dalam. Pemuda itu terlihat sangat gagah, meski hanya anting-anting yang menghiasi daun telinga, serta kain yang diikat sedemikian rupa menutupi kepalanya. Tubuh bagian atasnya yang tak tertutupi tampak kekar dan liat terbiaskan cahaya api damar.
Ia merasa tatapan pemuda itu seolah-olah menyedotnya ke pusaran tak bertepi. Dadanya terasa sesak, seperti terhimpit bongkahan batu besar tatkala segenap perasaan menyeruak. Rasa rindu, pilu, dan terkhianati melebur jadi satu. Siapa pemuda itu? Mengapa ia seperti menemukan kembali kepingan jiwanya yang telah lama hilang?
Pemuda itu lalu tersenyum hangat.
Vivi terkesiap lalu menunduk dalam saat merasakan debaran jantungnya menggila. Apa ... apa yang terjadi dengannya? Perasaan sesak apa ini? Begitu ia mengangkat kepala, sosok pemuda itu perlahan memudar.
Jangan pergi! Vivi berteriak sekuat tenaga tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Jangan pergi! Jangan pergi!
Ingin rasanya ia berlari dan meraihnya tetapi tubuhnya mengkhianati.
Jangan ... pergi lagi ...
Vivi meraung dan menangis sejadi-jadinya tatkala sosok pemuda itu akhirnya menghilang ditelan kehampaan. Ia pun merosot jatuh saat kakinya tak mampu menopang tubuhnya yang menggigil hebat.
Kenapa semua orang meninggalkannya? Kenapa dia harus sendirian di dunia ini?
Kenapa ...
"Vivi—eh, kamu kenapa nangis?"
Vivi terperanjat ketika suara Mbak Irma berhasil mengembalikan kesadarannya. Kalut, gadis itu memandang ke segala penjuru. Tidak ada gadis-gadis yang menari, tidak ada suara gamelan, terlebih lagi ... tidak ada pemuda itu; yang ada hanya sosok Mbak Irma yang menatapnya khawatir. Dengan kasar diusapnya jejak-jejak air mata yang membasahi pipi.
"Kamu kenapa? Sakit? Tadi Mbak takut banget kamu kenapa-kenapa," ucap Mbak Irma sambil mencoba memegang dahinya. Namun, belum sempat tangan Mbak Irma menyentuh, Vivi menepis lebih dulu.
"Sa-saya nggak apa-apa, kok," ucapnya tetapi detik berikutnya ia melenguh pelan ketika pening menyerang. Vivi nyaris roboh jika saja Mbak Irma tak menangkapnya.
"Vivi, kalau kamu sakit kamu boleh izin. Saya nanti yang bilang ke Pak Falah," ucap Mbak Irma panik.
Vivi menggeleng pelan. Di antara kesadarannya yang masih tersisa, ia dapat mendengar Mbak Irma berteriak serta suara lelaki yang memanggil namanya sebelum semuanya berubah gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Historical Fiction[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...