Hari ini suasana hati Vivi sama cerahnya dengan langit. Biru yang terlihat sejauh mata memandang dengan sapuan awan putih tipis seperti kapas, membuat hatinya hangat. Angin berembus pelan seolah menerbangkan beban-beban yang selama ini menggelayut di pundak. Tiap langkah yang diambil rasanya begitu ringan. Di cuaca seperti ini biasanya pengunjung pantai akan meningkat berkali-kali lipat, apalagi libur akhir tahun sudah makin dekat. Vivi tersenyum menyambut pelanggan yang tak kunjung habis, walau sesekali memaki dalam hati karena terkadang beberapa pelanggan bertingkah sangat menyebalkan.
Hari ini ia menjaga kasir sendirian dari pagi sampai jam istirahat karena Mbak Irma izin datang telat. Awalnya ia tak ingin usil bertanya alasannya pada Pak Falah, tapi mulut lelaki itu tak bisa dijaga. Ia malah memberitahunya tanpa diminta. Kabarnya, Mita tertangkap basah melakukan tindak asusila bersama teman-temannya. Selama satu jam atasannya itu sibuk bergibah, mengomentari ini itu, menceritakan hal-hal yang tak perlu sampai ke kehidupan pribadi Mbak Irma. Vivi sendiri hanya mendengarkan tanpa berkomentar. Ia hanya sesekali menggangguk sebagai afirmasi kalau ia menyimak.
Sejujurnya, Vivi tak tahu haruskah ia bersorak sambil menghina-hina atau prihatin atas musibah yang menimpa teman kerjanya itu. Ia memang tak menyukai Mita, tapi tidak dengan Mbak Irma. Dia orang baik tapi keponakannya yang kurang ajar itu malah mencoreng arang di mukanya. Bekasnya mungkin tidak akan hilang sampai setahun kemudian.
"Selamat datang." Vivi menyapa pelanggan yang datang dengan tangan yang masih sibuk memindai kode-kode batang barang belanjaan. Ia terus melakukan itu sampai menginjak jam makan siang.
Vivi melenguh sambil menggerakkan leher, punggung, serta pinggang sampai tulang-tulangnya bergemeretak. Ia lalu melakukan peregangan asal dan cepat, sengaja demi melemaskan persendian dan otot yang kaku. Dulu sekali, ibunya selalu melarang jika ia melakukan hal ini. Ibunya bilang, ia adalah bintang. Masa depannya sebagai balerina masih panjang dan dia tidak boleh merusak tulang dan otot-ototnya. Akan tetapi, saat itu ia hanyalah anak-anak yang keras kepala dan nakal. Ia akan tetap melakukannya diam-diam. Vivi tertawa kala mengingatnya. Jadwalnya mengunjungi dokter spesialis dan pusat pijat selalu teratur dan terencana, jadi tak masalah. Jika terjadi cedera, ia bisa dengan mudah mendapatkan pertolongan. Uang dan koneksi bukan masalah untuknya.
Ia lalu berjalan keluar minimarket untuk membeli makan siang. Di daerah tempat kerjanya ini ada banyak warung-warung makan berjajar di sepanjang jalan yang menjual aneka rupa masakan, mulai dari tradisional sampai waralaba makanan cepat saji milik orang lokal. Sebenarnya, ia bisa saja membawa bekal yang disiapkan Mbok Sum seperti Nabila. Namun, ia tak ingin merepotkan mantan asisten rumah tangganya itu. Setelah menimbang sebentar, pilihannya jatuh pada warung makan Padang sederhana yang jaraknya hanya seratus meter dari tempatnya bekerja.
Sesampainya di tempat itu, area makan sudah dipenuhi orang-orang berseragam bank swasta tempat Galih bekerja. Matanya tanpa sadar mencari keberadaan pemuda itu, tapi sedikit kecewa karena tak menemukannya. Ketika ia hendak memesan makanan, seorang wanita yang tengah menelepon sekonyong-konyong menyelak antrian, lalu menyebutkan makanan apa saja yang ingin ia beli.
Vivi melirik geram. Wajahnya merengut tidak senang. Ia sudah nyaris meledak jika saja wanita itu tetap tak tahu diri dan tetap melanjutkan pesanannya.
"Excuse me?" ucap Vivi ketus dan penuh penekanan pada tiap kata.
Wanita itu terlonjak, lalu menjeda panggilan ponselnya. "Ah, maaf, maaf. Kamu antri di depan saya, ya? Silakan. Silakan." Ia kemudian ponselnya ke dalam saku celana dan mundur selangkah.
Vivi tak membalas. Ia kemudian mengambil alih tempat si wanita, lalu memesan lauk-pauk secukupnya. Iseng, ia kembali melirik si wanita. Vivi memperhatikan wanita itu dari ujung kepala hingga kaki. Umurnya mungkin berada di pertengahan tiga puluh. Dandandannya modis dengan rambut bergelombang sebahu yang dicat cokelat gelap. Dari warna lipstik dan riasan wajah, wangi parfum, serta pemilihan merk sepatu, wanita itu tak terlihat seperti orang kampungan. Pandangan Vivi lantas jatuh pada papan nama yang tersemat di dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Ficción histórica[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...