#21 - Negeri Pemberontak (2)

1.3K 235 9
                                    

Dharmaja mengerenyit. Tarian yang dimainkan kelompok seniman itu sebenarnya tak membosankan, tapi entah kenapa sedari tadi intuisinya mengatakan akan ada kejadian tak baik setelah ini, ditambah lagi lapangan yang menjadi tempat pentas makin lama makin disesaki orang. Karena tubuh Angreni tergolong kecil untuk ukuran anak seusianya, ia langsung tertelan ke dalam kerumunan. Dharmaja yang melihat itu dengan cepat meraih tubuh kecil Angreni lalu menggendongnya di pundak.

Awalnya Angreni bersikeras untuk turun, tapi Dharmaja melarang. Lelaki itu berkelakar jika Angreni dibiarkan di bawah, bisa saja mereka terpisah dan tak akan bisa bertemu lagi untuk waktu yang lama. Angreni langsung menghadiahinya dengan pukulan di pundak.

Beberapa saat berlalu dan sepertinya Angreni sudah mulai nyaman, terbukti dengan kakinya yang sesekali mengayun pelan mengikuti irama gending pengiring tarian. Dharmaja tersenyum. Pemandangan wajah Angreni yang terlihat antusias jauh lebih menarik dibanding gadis-gadis penari di depan sana. Untuk sejenak, ia melupakan rasa waswas yang tadi sempat menyelimuti hatinya.

"Wah, ternyata ada penari lelakinya!"

Dharmaja spontan mengalihkan atensinya setelah mendengar seruan Angreni. Di depan sana, ia melihat tiga orang penari lelaki telah menggantikan para penari perempuan. Dharmaja terkesiap. Meski ketiganya memakan topeng yang menutupi wajah, tapi entah mengapa ia merasa sangat mengenali salah satu dari mereka. Ah, mungkinkah ini yang sedari tadi membuat perasaannya gelisah?

Seakan-akan sedari awal telah tercipta ikatan batin di antara keduanya, si penari lelaki yang dimaksud Dharmaja tampak agak tak fokus, karena ada beberapa gerakan yang tak seirama dengan penari lain.

Saat hari menjelang petang, Dharmaja merasakan sesuatu terjatuh di aatas kepaalnya. Itu Angreni. Gadis kecil itu sudah tertidur pulas dengan menjadikan kepalanya sebagai tumpuan. Dengan hati-hati Dharmaja menurunkan Angreni lalu mengendongnya seperti bayi. Begitu ia ingin melangkah pulang, seseorang dari belakang tiba-tiba menahan lengannya.

"Tunggu."

Wajah Dharmaja seketika mengeras. Ia sangat mengenali suara itu. Tanpa berbalik ia membalas, "Oh, sudah lama sekali kita tak bersua, Rahadyan Rawisrengga? Mohon maaf atas kelancangan hamba, tapi tuan putri yang ada digendonganku ini sangat kelelahan, jadi aku tak ada waktu untuk meladenimu." Ia menyentak tangannya dan melanjutkan langkah.

Rawisrengga mengatup rahangnya kuat-kuat hingga urat-urat kemarahan di dahinya tercetak jelas. Dengan langkah lebar ia berjalan melewati Dharmaja dan berhenti tepat di hadapan lelaki itu. "Aku tidak mengerti kenapa begitu membenciku?! Tak tahukah kau selama dua tahun ini aku terus mencarimu?"

"Mencariku?" Dharmaja mendengus geli. "Kukira selama ini kau melepas status kebangsawananmu dan berkelana bersama kelompok seniman. Ya, aku tahu kau memang sangat berbakat di bidang seni," ucapnya dengan nada mencela.

Rawisrengga terlihat tak senang, tapi ia berusaha menutupinya. "Aku melakukan semua ini sebagai penyamaran! Aku bersama Paman Nawarsa tengah mengumpulkan kekuatan dari seluruh penjuru negeri."

Dharmaja tahu siapa Paman Nawarsa yang dimaksud. Lelaki itu adalah penyusun strategi kompeten. Dialah dulu yang ikut andil membantu ayahnya untuk merebut takhta. Atas jasanya itu ia dinobatkan sebagai Rakryan Kanuruhan setelah tampuk kekuasaan Daha jatuh ke tangan ayahnya. Lewat tangan dinginnya juga Daha selalu meraih kesuksesan dalam menaklukan kerajaan bawahan. Sayangnya, hal itu hanya terjadi beberapa tahun karena Paman Nawarsa memilih untuk menyingkir dari hingar bingar istana setelah mempersunting seorang acari. Setelah itu, ia tak mendengar kabar apa-apa lagi kecuali tentang dirinya yang menetap di Panumbangan*.

Dharmaja mengangguk, merasa lega meski sejujurnya itu hanya kepura-puraan belaka. "Aku bangga padamu, Adikku yang terhormat. akhirnya kau mampu membuat keputusan sendiri. Kau memang berhak mendapatkan takhta itu. Mungkin dengan adanya aku, aku hanya akan jadi batu sandungan untukmu."

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang