#37 - Mimpi Panjang (2)

480 89 7
                                    

Rawisrengga masih berada di daerah Lasem*, kala kabar kepergian ibu mampir ke telinganya. Bagai orang linglung, ia tergopoh-gopoh mengambil kuda—entah milik siapa—dari istal, menarik tali kekangnya, kemudian melaju kesetanan. Nawarsa, Dharmaja, serta si pembawa pesan mengekor di belakang.

Mereka tiba di padepokan seni Nawarsa lima hari kemudian, yang merupakan waktu tercepat yang bisa ditempuh dengan berkuda. Ia melompat turun dan hampir terjatuh, beruntung Nawarsa ada di sana untuk membantu. Langkahnya terhuyung kala ia mendekati jasad ibu. Perlahan, ia berlutut di samping pembaringan, mendekatkan wajah, menciumi pipi dan kening ibu, kemudian menyapa sambil berbisik, "Ibu, anakmu pulang." Suaranya bergetar, tapi ia tak ingin seorang pun tahu. Ia mengambil salah satu tangan ibu lalu mengusapkannya ke kepala sendiri.

Unengan mendatangi lalu memeluknya sambil tersengguk-sengguk. Ia bercerita tanpa diminta dengan berlinangan air mata.

Miruda tak berani mendekat. Kakinya seolah-olah terpancang di bumi. Ia membuka mulut untuk bersuara, paling tidak ia ingin menyapa sang kakak, tapi mungkin ia telah dikutuk Yang Kuasa karena tak ada satu patah kata pun yang keluar dari tenggorokannya. Rawisrengga membuang muka, solah-olah tak sudi melihatnya. Kakaknya tersayang mengabaikannya, tentu. Tentu. Miruda tak perlu memiliki mata ketiga untuk menyadari sikap yang ditunjukkan kakaknya itu.

Usai bercerita dan menumpahkan beban yang mengganjal hatinya, Unengan pamit undur diri. Ia berniat membantu istri Nawarsa untuk menyiapkan perlengkapan prosesi pulasara ibu.

Nawarsa yang berdiri di sebelah Rawisrengga memegangi pundaknya, waspada jika nantinya Rawisrengga tiba-tiba bertindak bodoh hingga berakibat berubahnya prosesi pulasara yang khidmat menjadi medan pertumpahan darah antar saudara, tapi syukurlah yang ia takutkan tak terjadi. Selama prosesi berlangsung tak ada air mata Rawisrengga yang tertumpah. Tak ada rintihan duka. Semua dilewati Rawisrengga dengan penuh keheningan. Seisi padepokan memuji betapa tenangnya Rawisrengga, tapi tidak bagi Angreni.

Apa mereka buta? Tak bisakah semua melihat bagaimana kedua tangan Rawisrengga tak berhenti bergetar? Lelaki itu bahkan dengan susah payah menyeret kaki sepanjang prosesi pulasara. Angreni iba. Sejujurnya ia juga ikut terpukul, tapi ia tahu betul rasanya kehilangan poros hidup dan tempat untuk berpulang. Baginya, di balik sikap tenang Rawisrengga, ada rasa sakit yang ia telan untuk diri sendiri. Angreni tak tahu sampai kapan Rawisrengga akan menyembunyikannya, tapi ia berharap hal itu tak akan merusak dan menghancurkannya dari dalam.

Tiga hari berselang, ketika matahari berada di atas punggung gunung, Angreni tak sengaja melihat Rawisrengga keluar dari kamarnya yang terletak di bagian barat padepokan, tempat di mana seniman terbaik tinggal. Dengan tatapan kosong dan ekspresi sulit dibaca, ia berjalan lurus melewati murid-murid yang tengah berlatih musik di pendapa, mengabaikan sapaan mereka, lalu menyeberangi lapangan yang dipakai beberapa pemuda untuk menari. Pada saat itu, Angreni sama sekali tak merasakan keanehan apapun. Ia masih terus menatap punggung Rawisrengga sampai sosoknya menghilang di balik deretan bangunan kamar milik para murid. Rongga bercerita kepadanya bahwa Rawisrengga baru kembali saat tengah malam.

Keesokannya, Angreni melihat Rawisrengga melakukan hal yang sama tepat di waktu yang sama pula. Seperti halnya kemarin, ia hanya bisa melihat dari kejauhan karena saat ini ia tengah disibukkan—ah, bukan, lebih tepatnya ia terpaksa mengikuti kemauan istri paman Nawarsa. Ketika pertama kali melihat luka bakar di punggungnya, wanita itu segera memerintahkan dua penata rias untuk membantu merawat bekas luka itu. Awalnya, tentu Angreni menolak dengan halus, tapi istri paman Nawarsa begitu ahli dalam membujuk. Ia berkata gadis tak seharusnya memiliki cela. Setelah beberapa kali tawar menawar, Angreni akhirnya pasrah diseret ke sana-ke mari untuk didandani serta diajarkan bagaimana caranya bersolek.

Di hari ketiga, hari keempat, bahkan sampai seminggu berselang Rawisrengga masih melakukan hal yang sama. Ia seperti orang yang kehilangan akal. Tak ada yang bisa menghentikannya, termasuk Unengan, berhubung Miruda sudah tak bisa diharapkan untuk mengawasi Rawisrengga karena selepas pulasara ibu selesai yang dia lakukan hanya mengurung diri di kamar.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang