Galih terbangun karena sesuatu mendarat di pahanya. Ia menunduk dan menemukan sebuah bola karet kotor. Tak lama, seorang balita bersama ibunya mendatanginya untuk mengambil bola itu. Galih tersenyum maklum ketika si ibu meminta maaf.
Setelah kepergian sepasang ibu dan anak itu, Galih termenung. Pikirannya melayang pada mimpi yang barusan ia alami. Siapa Angreni? Kenapa tiba-tiba saja terlintas nama itu di kepalanya? Lagipula kenapa wanita cantik itu memanggilnya Sekartaji? Terlebih lagi, Nabila juga turut hadir di sana.
Galih merunduk hingga dadanya menyentuh lutut. Ia pun meremas kepalanya yang berdenyut. Semakin ia memikirkan hal tersebut, semakin ia tak mengerti—otaknya seolah berubah jadi jalinan benang kusut yang sukar diurai.
"Mas Galih!"
Suara Nabila terdengar dari kejauhan. Galih cepat-cepat menegakkan tubuh dan mengubah raut wajahnya seperti sedia kala.
"Nabila, kenapa?" tanyanya basa-basi ketika Nabila baru saja sampai.
"Si Mbok nyariin tuh, habisnya Mas Galih ke kamar mandi aja lama banget."
Galih terkekeh, malu. "Maaf, ya, tadi rencananya Mas Galih cuma mau duduk-duduk di sini, eh, ternyata ketiduran."
"Tuh, kan. Nabil sudah bilang ya, kalau Mas Galih capek, pulang saja. Bandel, sih!" omel Nabila sambil meraih tangannya. "Ya, udah sekarang kita balik aja ke kios."
Galih mengangguk dan membiarkan tubuhnya ditarik Nabila. Selama perjalanan, Nabila berkomentar tentang banyak hal. Tentang pedagang yang begini, pengunjung yang begitu. Tak lupa ia menceritakan pengalamannya saat mengikuti karnaval.
"Mas Galih, tahu nggak, Neng Vivi dateng ke sini, lho!" seru Nabila tanpa mengetahui perubahan raut wajah Galih.
"Yang bener kamu?" Galih memandangi adik sepupunya itu tak percaya.
Seolah-olah mengerti gestur yang diberikan Galih, Nabila pun menceritakan semuanya; dimulai dari dirinya yang diantar pulang oleh Bu Lina, pertemuan mereka dengan Vivi di tengah jalan, serta Bu Lina yang mengajak Vivi untuk melihat pasar malam. Akan tetapi, ia terpaksa melewati bagian di mana ia bertemu Vivi dengan kondisi berantakan. Ia tak ingin kakak sepupunya itu khawatir.
Perkataan Nabila membawa sedikit kekecewaan di dada Galih. Vivi bahkan menolak diajak kemari oleh ibunya, tapi begitu Bu Lina yang meminta, gadis itu langsung menyetujui. Galih buru-buru menghilangkan pikiran picik tersebut. Tentu saja Vivi lebih memilih mengikuti kata-kata Bu Lina karena wanita itu adalah salah satu orang yang paling dihormatinya.
Sesampainya di kios, Galih buru-buru bertanya keberadaan Vivi kepada sang ibu. Sayang, jawaban yang didapat membuatnya sedikit kecewa. Vivi ternyata baru saja pergi setelah mendapat panggilan telepon.
"Siapa yang telepon, Mbok?" tanya Galih, terdengar agak tak senang.
"Bu Lina. Memangnya kenapa tho, Le?" jawab sang ibu tanpa menoleh. Pasalnya dia tengah sibuk membungkus jajanan pesanan pembeli.
Belum sempat Galih bertanya lebih jauh, Nabila sudah keburu memotong. "Aku yang kasih tahu, Mas! Soalnya Bu Lina maksa," ucapnya seolah ia tahu pertanyaan apa yang ingin dilontarkan Galih.
Galih menghela napas dalam-dalam. Ekspresinya sedikit melunak. "Oh, ya udah. Ndak apa-apa," ucapnya. Ia lantas mengambil alih pekerjaan ayahnya untuk menata kardus-kardus yang berisi barang dagangan.
Di lain tempat, ini pertama kali baginya mengunjungi pasar malam alun-alun meski sudah dua tahun tinggal di kota ini. Vivi terdiam di depan pintu masuk. Pagar besi yang cuma setinggi betis seolah membesar berkali-kali lipat. Ia juga merasa semua pasang mata tertuju padanya. Seakan-akan mereka tengah menelanjanginya beramai-ramai, lalu berniat melemparinya dengan batu sampai mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Historical Fiction[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...