Vivi menatap puas pada karyanya. Ketika dicicipi rasanya persis sama dengan tangyuan yang sering ayahnya buat dulu. Namun, ada sedikit masalah. Mungkin ini pertama kalinya ia mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati setelah sekian lama, ia jadi tak terkendali. Ada satu panci besar tangyuan yang menunggu untuk dihidangkan.
Ia berdecak. Bagaimana caranya agar makanan itu habis sebelum besok? Jika ia memberikan kepada Mbok Sum pun masih akan tersisa banyak.
Kemudian, satu pesan masuk ke ponselnya. Setelah dicek, ternyata pesan dari Bu Lina.
Kamu baik-baik aja?
Sebelah alis Vivi terangkat. Ia lalu menuliskan jawaban. Baik, Bu.
Bu Lina membalas tak sampai semenit kemudian. Jadi ke sanggar?
Jadi, Bu.
Hari ini ia memang punya janji untuk berkunjung ke sanggar untuk sekadar menghabiskan jatah libur sekaligus mengenali lebih dalam watak calon murid-muridnya. Namun, ia belum memberitahu Nabila mengenai kepergiannya nanti. Bocah itu pasti kebingungan saat mendapati rumah kosong.
Vivi mulai menimbang dan akhirnya ia pun memutuskan untuk memberitahu Nabila. Setelah mengirim pesan, ia bergegas menyiapkan tangyuan yang ia buat di mangkuk besar untuk Mbok Sum dan menyisihkan sisanya untuk diberikan ke sanggar. Ya, dia memang berencana untuk membagi-bagikan tangyuan itu untuk dimakan murid-murid Bu Lina.
Setelah beres, ia memutuskan untuk segera pergi mengantar tangyuan bagian Mbok Sum supaya mantan asisten rumah tangganya itu bisa mencicipinya segera. Ada letupan bahagia di hatinya kala membayangkan ekspresi Mbok Sum dan suaminya. Namun sayang, ia tiba-tiba berhenti ketika baru saja sampai di muka pintu. Ah, ada satu hal lain yang ia lupakan. Di jam-jam seperti ini Mbok Sum dan suaminya pasti masih ada di kios.
Tidak. Ia tak ingin ke pantai. Dia yakin sekali hal yang membuat dirinya mengalami kejadian ganjil belakangan ini berkat pertemuannya dengan si hantu. Lagi pula, jika ia ke pantai, dirinya pasti tak bisa menahan keinginan diri untuk mengunjungi bukit tempat si hantu berdiam. Bodoh memang, tapi entah mengapa berada di sana membuatnya nyaman.
Vivi gamang. Akhirnya, satu-satunya jalan yang tersisa adalah menghubungi Mbok Sum. Tak disangka, suami Mbok Sum rupanya sedang ada di rumah. Lelaki paruh baya itu pulang karena ada bahan-bahan makanan yang tertinggal. Sebuah kebetulan yang sangat menguntungkan, pikir Vivi.
Suami Mbok Sum terkejut setengah mati ketika Vivi memberikan makanan buatan tangannya sendiri. Apalagi ketika memberikan rantang itu wajah Vivi dihiasi senyum kecil. Kapan terakhir kali ia melihat senyum nona mudanya itu?
"Dimakan ya, Pakde. Buat cemilan sambil jaga kios."
"Oh ... oh , ya pasti, Neng, pasti. Te-terima kasih." Lelaki paruh baya itu tergagap. Ia masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi. Bahkan sampai Vivi pamit untuk kembali ke rumahnya tak ada kata lain yang keluar dari mulutnya. Padahal, ada banyak pertanyaan yang seolah tersangkut di ujung lidah.
.
.
.
Vivi sampai di sanggar tepat pukul tiga siang. Satu jam lebih awal dari jadwal sanggar sebenarnya, tapi pendopo sudah dipenuhi murid-murid Bu Lina. Vivi tersenyum kecil, senang akan antusiasme mereka menyambut upacara sedekah laut yang tak lama lagi akan terselenggara. Di sini, sedekah laut adalah tradisi terpenting setelah hari jadi kota. Penduduk lokal biasa menyebutnya upacara ini sebagai larungan.
Larungan dimulai dari pembacaan doa-doa, dilanjutkan dengan acara menghias sesaji, lalu diikuti tari-tarian. Para penari merupakan perwakilan dari seluruh sanggar yang berdiri di kota ini. Semua kegiatan ini dilaksanakan di sebuah pesanggrahan yang letaknya hanya tiga ratus meter dari pantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Ficción histórica[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...