Tante Dinar mendesah pelan setelah membaca pesan dari ibunda Dimas. Siang ini ia diundang oleh wanita itu untuk datang ke salah satu hostel yang ia miliki di kota ini. Dan, ya, sebetulnya ia telah membuat agenda untuk meminta maaf pada keluarga Dimas secara langsung hari ini. Namun, belum sempat mengirim pesan, undangan dari ibunda Dimas sudah datang lebih dulu. Ah, sekarang bagaimana dia harus bersikap di depan orang baik hati itu setelah Vivi menginjak-injak harga diri keluarga mereka?
Dirinya benar-benar tak habis pikir. Gara-gara keponakannya, ia harus menanggung malu. Dasar anak tak tahu diuntung! Apa susahnya mengikuti semua perintah yang ia berikan dan bersikap manis? Toh, ini juga demi kebaikannya juga. Orang tua mana yang ingin melihat anaknya menderita? Tidak ada! Meski statusnya di sini hanya seorang bibi, ia tentu tak ingin Vivi mengikuti jejak mendiang ibunya yang selalu saja membantah orang tua dan berakhir sebagai seorang pendosa.
Tante Dinar melajukan motor matic-nya pelan saat membelah jalan pusat kota. Kepalanya serasa mau meledak, memikirkan rentetean kalimat permintaan maaf yang harus ia kumandangankan di depan ibunya Dimas. Apa perlu ia menyembah-nyembah di kaki wanita itu?
Motor matic yang membawa Tante Dinar akhirnya sampai di tempat yang telah dijanjikan lima belas menit kemudian. Di depannya, berdiri sebuah hostel yang didominasi warna cokelat di tiap sudut bangunan. Sepengetahuannya, hostel ini milik keluarga Dimas yang kaya raya itu. Ah, andai saja Vivi mau menikahi Dimas, sudah pasti hostel ini bakal diserahkan kepadanya. Tidak perlu ia bersusah-payah bekerja sebagai pramuniaga, di sini dia cuma tinggal memerintah dan uang akan mengalir ke rekeningnya kapan saja.
Tante Dinar kemudian memarkirkan motornya di samping sebuah mobil SUV warna hitam dan langsung masuk ke dalam lobi sambal membawa sebuah tas karton kecil. Melewati pintu utama, terdapat meja resepsionis yang terletak di ujung lobi. Di sana berjaga sepasang resepsionis mda. Melihat kedatangan Tante Dinar, dua resepsionis itu otomatis berdiri sambil memasang senyum ramah.
"Selamat siang. Selamat datang di Istana Hostel," sapa dua resepsionis itu bersamaan.
"Ada yang bisa saya bantu?" lanjut sang resepsionis perempuan.
Tante Dinar balas tersenyum sambil menunjukan sebuah kartu nama. "Saya ingin bertemu dengan Ibu Niar. Saya sudah janji dengan beliau."
"Oh, Ibu yang janjian sama Bu Niar? Silakan tunggu sebentar, kami akan panggikan Bu Niar," balas sang resepsionis perempuan, sementara resepsionis laki-laki pamit undur diri ke belakang. Mungkin ia berniat memanggil bosnya.
Tante Dinar mengangguk, lalu berjalan menuju sofa panjang yang letaknya di sisi kanan ruangan. Di atas sofa itu, Tante Dinar berdoa banyak-banyak sembari menguatkan hati. Ia sudah tak mau membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Tanpa ia sadari, keringat dingin mulai membasahi telapak tangan. Dadanya pun berdegup kencang.
"Oh, Mbakyu sudah dateng? Maaf, ya, menunggu lama."
Tante Dinar terkesiap ketika suara Bu Niar mampir di telinganya. Ia kemudian buru-buru bangkit samial membetulkan rok panjang yang dipakainya. "Ah. Nggak apa-apa, kok.Saya juga baru datang, nih." ucapnya gugup.
Bu Niar mengangguk mafhum sebelum melanjutkan, "Oh, ya. Mari, saya antar ke ruangan saya biar lebih enak ngobrolnya."
Tante Dinar tersenyum canggung ketika Bu Niar memandunya ke sebuah ruangan yang terletak di bagian belakang bangunan. Ia menebak kalau ruangan itu adalah ruanh kerja sekaligus ruang rapat karyawan; dilihat dari sebuah meja panjang besar yang menghiasi tengah ruangan, serta beberapa kursi kerja beroda yang mengelilinginya. Di sisi kiri dan kanan terdapat dua rak besi berisi bundelan arsip yang menempel pada dinding. Sementara di ujung ruang, sebuah meja kerja berdiri dengan plakat bertuliskan nama lengkap Bu Niar di atasnya.
Bu Niar kemudian mengambil salah satu kursi yang berada di tengah ruangan. "Silakan duduk," ucapnya mempersilakan Tante Niar untuk duduk, sementara dirinya mengambil kursi di sampingnya.
Tante Dinar duduk dengan perasaan campur aduk. Dengan gemetar ia menaruh tas karton yang dibawanya ke atas meja. "Saya betul-betul minta maaf atas kejadian kemarin, Mbakyu," ucapnya sambal mendorong tas itu hingga menyentuh lengan Bu Niar.
Bu Niar, yang mengetahui maksud dari Tante Dinar, terlihat sangat kaget. "Eh, ndak. Ndak begitu. Justru saya yang harus minta maaf," sesalnya sambal meraih tangan Tante Dinar.
"Ke-kenapa Mbakyu yang minta maaf? Kan, Vivi yang sudah kurang ajar sama Dimas?" ucap Tante Dinar ragu sekaligus bingung.
Bu Niar menghela napas Panjang sebelum berujar, "Ceritanya lumayan rumit untuk dijelaskan."
"Rumit? Rumit bagaimana?" Dahi Tante Dinar mengerut dalam.
Tampak jelas kegelisahan di raut wajah Bu Niar. "Mbakyu harus janji dulu sama jangan bercerita ke siapa-siapa tentang hal ini."
Tante Dinar terpaksa mengangguk, walau ia masih menyimpan seribu tanda tanya di benaknya.
"Sebenarnya ..." Bu Niar menggantung ucapannya selama beberapa detik. "dari kecil Dimas bisa melihat," ucapnya seraya membuat tanda kutip dengan tangan di akhir kalimat.
"Melihat?"
Tercipta jeda panjang sebelum Bu Niar menjawab rasa penasaran Tante Dinar. "Melihat sesuatu yang tak kasatmata."
Tante Dinar terhenyak. "Maksudnya, Dimas bisa melihat hantu?"
Bu Niar mengangguk pelan. Wajahnya terlihat sangat tertekan.
"Tu-tunggu sebentar." Tante Dinar kelihatan sulit menerima informasi yang satu ini. "Mbakyu, jangan bercanda, ah!" serunya sambil meringis bingung.
"Saya sedang ndak bercanda. Saya serius!"
Tante Dinar memijit pelipisnya yang berdenyut. Atmosfir di sekeliling mereka entah mengapa malah memberat.
Bu Niar berdeham untuk mencairkan suasana. "Mungkin ini terdengar ndak lazim tapi—"
"Terus hubungannya apa dengan kejadian kemarin?" sambar Tante Dinar tak sabar.
"Itu ... sesuai penjelasan dari Dimas kemarin, dia ... melihat sesuatu di belakang Nak Vivi. Itulah kenapa Dimas sampai kaget saat bersalaman dengannya."
Tanpa sadar, Tante Dinar menahan napas. "Sesuatu? Sesuatu bagaimana? Apa yang dia lihat?"
"Sa-saya juga nggak tanya lebih detailnya. Tapi, yang pasti Dimas bilang, kalau yang dia lihat itu kayak semacam bayangan hitam yang besar."
Tante Dinar tampak begitu kalut. Di pikirannya berkelebatan berbagai macam pikiran-pikiran buruk. "Kalau benar yang Mbakyu bilang, itu artinya ... Vivi sedang diikuti makhluk halus, begitu?"
Bu Niar mengangguk kaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Historical Fiction[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...