#25 - Permintaan Terakhir (2)

1.2K 242 17
                                    

"Pergi sekarang?"

Dimas menoleh lalu mengangguk patuh. Ia diam saja saat sang pencabut nyawa melingkarkan tali dadung di pergelangan tangannya. Permukaan tali dadung yang berserat dan kasar membuatnya sedikit gatal. Ia pikir ketika sudah mati ia tak akan bisa merasakan apa-apa.

"Kau tahu, kau satu-satunya orang kujemput yang bisa bersikap setenang ini, seolah-olah kau sudah menduga hal ini sebelumnya."

Dimas menatap sang pencabut nyawa lalu terkekeh. "Nggak, kok. Kalau boleh jujur, saya lagi takut sekarang. Kalau masih hidup, saya mungkin bakal gemetaran setengah mati dan kencing di celana. Tapi ... mungkin kamu ada benarnya, saya memang agak tenang karena sudah terbiasa."

Sang pencabut nyawa balas menatapnya. "Terbiasa?" tanyanya, sedikit kaget.

"Dari kecil, saya bisa melihat hal-hal yang nggak bisa dilihat mata manusia biasa. Entah ini kutukan atau berkah, tapi menurut saya ini kutukan karena kamu bisa lihat sendiri kalau saya mati karena hal itu."

"Di kehidupan selanjutnya, semoga kau bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik, sehingga kau tidak perlu menyaksikan hal-hal yang di luar kuasamu lagi." Suara si pencabut nyawa terdengar sangat tulus, sungguh kontras dengan wajahnya yang tak menunjukkan emosi apa-apa.

"Terima kasih." Dimas menghela napas, meski ia tahu itu hal percuma karena tak ada udara yang terhirup, hanya dadanya saja yang terlihat bergerak ke atas lalu kembali seperti semula.

"Bisa kita pergi sekarang?" sang pencabut bertanya lagi.

"Ya, silakan." Dimas memberi isyarat kepada sang pencabut nyawa untuk memandunya. Setibanya mereka di luar ruang ICU, Dimas tiba-tiba berhenti melangkah. Mimik wajahnya berubah saat mendapati ibunya yang menangis sesenggukan di kursi tunggu.

"Aku akan memberikanmu waktu jika kau ingin mengucapkan salam perpisahan untuknya."

Tak ingin menyiakan waktu, Dimas langsung bersimpuh di hadapan sang ibu. Niat hati ingin merengkuh dan menghapus air matanya, tapi hal itu mustahil dilakukan. Jadi, sebagai gantinya, ia hanya bisa memandangi paras lembut itu untuk disimpannya baik-baik dalam ingatan.

"Mama," panggil Dimas. Dalam suaranya menyimpan sejuta rasa yang ingin ia sampaikan. Ia tak peduli ibunya mendengar atau tidak, yang ia tahu ia ingin mengungkapkan perasaaannya sebelum pergi meninggalkan ibunya ke tempat tak terjangkau. "Ma, maafin Dimas karena harus pergi secepat ini. Terima kasih atas semua cinta yang mama berikan buat Dimas. Maaf karena Dimas nggak bisa temenin mama sampai tua."

Seolah mendengar suara sang anak, ibunya mendadak berhenti menangis. Pandangannya jatuh ke bawah, seolah-olah ia bisa merasakan kehadiran Dimas di sana. Dimas termangu, bibirnya bergetar saat ia mencoba melengkungkan senyum.

"Dimas sayang, mama tahu kamu ada di sini."

Dimas mengangguk dan tersedu-sedu. "Ya, Ma. Dimas ada di sini. Dimas ada di sini."

"Kamu nggak perlu minta maaf, sayang." ucap sang ibu sambil menyeka jejak air mata di pipi. "Mama udah ikhlas kalau kamu mau pergi."

Dimas jatuh bersujud di kaki ibunya. Ia menangis keras, seluruh perasaan yang bergumul di dada tumpah ruah bersamaan dengan teriakan dan isakan. Sementara di sudut lain, sang pencabut nyawa yang menjemputnya terdiam, memberikan kesempatan bagi Dimas untuk menunjukkan sekali baktinya kepada ibunda tercinta.

.

.

.

Dimas memandangi sang pencabut nyawa yang berjalan di sampingnya. Tadinya ia juga mengira pencabut nyawa adalah sosok menyeramkan persis seperti makhluk tak kasatmata yang selalu menghantuinya, tapi nyatanya tidak. Siapa kira lelaki tampan di hadapannya inilah yang menjemputnya. Selama perjalanan pun ia sempat bertanya berbagai macam hal. Mulai dari akan dibawa ke mana ia setelah ini, apa yang akan terjadi kepadanya setelah mati, sampai identitas serta asal-usul lelaki di sampingnya ini. Namun, untuk pertanyaan terakhir, jawaban yang didapat hanyalah ekspresi bersalah dan terluka dari sang pencabut nyawa.

"Sebelum pergi, apa ada hal terakhir yang kau inginkan?" tanya sang pencabut nyawa ketika mereka berdua melintasi jalan yang sepi dan gelap.

"Permintaan terakhir?" Dimas memandang heran.

"Ya, apapun yang ingin kau inginkan dan lakukan. Ini salah satu cara agar kau bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang."

Dimas tiba-tiba tertawa. "Kamu yakin kamu mau tau permintaan terakhir saya?"

"Ya, katakan saja. Aku akan mengabulkannya."

"Tapi permintaan saya banyak," balasnya dengan nada main-main.

"Satu saja. Satu hal yang kau inginkan. Tanyakan pada hati kecilmu."

Dimas terdiam sebentar. "Kamu beneran bakal mengabulkan apapun permintaan saya?"

"Ya, apapun." Sebelum Dimas melanjutkan kembali ucapannya, sang pencabut nyawa itu buru-buru menyela. "Tapi, aku berhak untuk menolak permintaanmu yang tak masuk akal, apalagi menentang kehendak alam."

Dimas mencebik. "Yah, padahal saya mau minta kamu buat mindahin gunung." Ia kemudian terdiam. Saat ini, tak ada hal apapun yang inginkan. Namun, ada satu wajah yang sedari tadi menganggu pikirannya.

Setelah beberapa saat ia memberikan Dimas waktu untuk berpikir, akhirnya ia kembali bertanya, "Jadi, apa permintaan terakhirmu?"

Dimas berhenti lalu memandangi pencabut nyawa di hadapannya dengan tatapan memohon. "Tolong lindungi dia, untuk saya."

.

.

.

======

Mohon maaf sebelumnya karena part ini pendek. WFH bukannya bikin saya punya banyak waktu luang, malah kerjaan nambah terus :") Hahaha ... tapi ya udahlah, risiko jadi orang dewasa (saya nggak mau jadi orang dewasa sebenernya heu ...)

Oh ya, mungkin part depan bakal masuk ke masa lalu lagi. Btw, coba tebak, orang yang pengen dilindungi sama Dimas itu siapa?

Omong-omong, mohon maaf kalau cerita ini terlalu bertele-tele. :") Tapi saya juga seneng kalau kalian ternyata menikmati cerita ini. Terharu saya :") Terima kasih, ya~

Terakhir, kalian tahu, saya bukan cuma mempelajari sejarah kerajaan di Indonesia juga lho hehe, saya juga belajar hubungan diplomatik kerajaan-kerajaan di Indonesia dengan kerajaan di dunia (terutama Asia). Salah satunya adalah dinasti-dinasti daratan Cina dan sekelilingnya. Kebetulan saya buat 1 cerpen yang berlatar sejarah dari kerajaan Silla (Korea). Kalau berkenan, silakan mampir ya.

Jangan lupa buat tinggalkan jejak. Kritik, sara, dan kesan-kesan setelah baca cerpen itu ya. Hehe. Biar saya tambah semangat buat fiksi sejarah :)

Bagi Jungmo, begitu banyak kata 'seharusnya' yang tak pernah tersampaikan setelah pertemuannya dengan Sobi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagi Jungmo, begitu banyak kata 'seharusnya' yang tak pernah tersampaikan setelah pertemuannya dengan Sobi. 

Sebuah cerpen yang mengangkat sejarah era kerajaan Silla di Korea.

Disclaimer: Cerita ini 25% sejarah, 75% murni karangan saya. Ada beberapa tokoh yang memang benar-benar ada di dunia nyata dan ada yang hanya cuma karakter fiksi. Jadi, bijaklah dalam memilah dan memilih yang mana sejarah asli dan fiksi. Bagi yang penasaran, kamu bisa langsung cari di google :)


====

Akhir kata, silakan membaca dan terima kasih sudah mau membaca sampai part ini, Teman-teman yang budiman :)

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang