#3 - Realita Memang Selalu Menyakitkan

5K 670 13
                                    

Keesokan paginya, kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan berhasil menyadarkan Vivi dari alam bawah sadar. Panik, Vivi beranjak duduk dengan tergesa. Merasa janggal dengan kondisi kamarnya, gadis itu menoleh kanan-kiri. Namun, pada detik berikutnya ia mendengus keras.

"Wow, welcome to the reality, Princess," gerutunya sambil melirik ke arah jam dinding yang dipasang di samping pintu. Pukul setengah lima. Berapa lama ia tertidur semalam? Sepuluh jam? Sebelas jam? Entahlah. Mungkin kemarin dia pingsan.

Vivi lantas beranjak dari atas dipan sambil mencoba merenggangkan persendiannya yang kaku. Bunyi gemeretak tulang bergema. Belum ada dua minggu tidur di atas kasur kapuk badannya sudah nyaris rontok.

Ia kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan kembali ke kamar dua puluh menit setelahnya. Sambil mengeringkan rambut, ia pandangi cermin dalam diam. Gadis yang saat ini sedang menatapnya masih tetap sama, tetapi di wajahnya begitu banyak perbedaan yang kentara. Mata yang dulu bersinar cerah, kini dihiasi lingkaran hitam. Pipi yang dulu padat berisi sekarang menirus. Rambut yang dulu cokelat berkilau, kini terlihat kusam. Singkat kata, menyedihkan.

Usai bersiap, ponselnya seketika berdering. Dengan malas ia menuju ruang tengah tempat di mana ponselnya berada. Vivi mengumpat ketika membaca nama si penelepon yang tertera pada layar ponselnya.

Tante Dinar

Karena enggan menjawab, Vivi sengaja tak mengangkat. Tak lama kemudian panggilan itu berhenti. Ia pun memasukkan benda itu ke dalam tas lalu berbalik untuk mengambil sepatunya yang tersimpan di kolong meja makan. Akan tetapi, baru dua langkah ia berjalan,dering teleponnya kembali terdengar. Akhirnya dengan jengkel ia terpaksa menjawab panggilan tersebut.

"Ya, halo," ucapnya ogah-ogahan.

"Halo, Vivi. Kamu masih belum berangkat kerja, kan?"

"Vivi baru aja mau berangkat kerja. Kenapa memangnya?"

"Bude mau ke sana. Biar kita sama-sama pergi ke tempat kerja kamu."

"Nggak, Bude. Terima kasih. Sudah, ya, teleponnya Vivi tutup dulu. Takut telat." Vivi buru-buru memutuskan sambungan. Peduli setan soal tata krama! Orang tua itu pasti akan membicarakan perjodohan konyol itu lagi.

Siapa, sih, mereka sampai-sampai kebelet menjodohkan dirinya dengan seseorang yang bahkan tak ia kenal. Walau mereka resmi menjadi walinya sekarang, tapi mereka tidak berhak menentukan jalan hidupnya. Tidak setelah mereka memperlakukan ibunya dengan semena-mena. Lagipula, ini bukan lagi zamannya Siti Nurbaya yang rela menikah dengan kakek-kakek bau tanah demi menyelamatkannya dari hutang.

Ah, tapi kalau dipikir-pikir lagi posisinya saat ini juga tak jauh berbeda dengan Si Siti Nurbaya. Dia memang tak punya hutang, tapi kondisi finansialnya yang sedang carut-marut saat ini membuatnya patut dikasihani. Dan, ya, Vivi tak mau menampik fakta kalau ia memang butuh uang. Sungguh ironis.

"Neng Vivi, sudah siap belum?"

Sebuah panggilan dari luar serta ketukan di pintu menyadarkan Vivi.

"Ya, Mas. Vivi sudah siap. Sebentar lagi keluar, tunggu sebentar," balasnya sambil mengecek tasnya untuk terakhir kali. Akan tetapi, mendadak kerutan dalam tercetak jelas di dahinya. Kartu tanda pengenal karyawannya tidak ada. Gawat. Kalau sampai kartu itu hilang ia bisa didenda.

Panik, Vivi menyisir tiap sudut di rumahnya itu dengan tergesa-gesa.

"Neng, Vivi," suara panggilan dari luar terdengar kembali.

"Ya, sebentar lagi!" sahut Vivi setengah kesal.

Kartu sialan itu ada di mana, sih?

Oke, sekarang ia harus tenang dan berpikir jernih. Seingatnya, semalam ia tidak mengeluarkan benda apapun dari dalam tas. Terlebih lagi, setelah pulang dari pantai ia langsung menjatuhkan diri ke atas kasur dan pingsan sampai subuh.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang