#26 - Ingatan Tentangnya (1)

1K 244 28
                                    

"Maaf, tapi aku tak bisa mengabulkan permintaanmu yang itu."

Raut wajah Dimas mengeras. "Kenapa? Permintaan saya kan nggak menyalahi kehendak alam." Tadinya ia sempat percaya diri kalau permintaannya akan dikabulkan.

"Karena kau bisa menyalahi takdir," jawab sang pencabut nyawa tanpa emosi.

"Menyalahi takdir? Bagaimana bisa? Saya kan cuma minta kamu supaya jagain seseorang. Apa yang salah dengan itu?" Tanpa sadar, Dimas membentak.

Sang pencabut nyawa tersenyum samar, lalu menggeleng. "Maaf."

Lelaki itu berdecak gelisah. "Kasih saya alasan kenapa kamu menolak permintaan saya. Ini kan tugas kamu, lho!"

"Kau memintaku untuk menjaga seseorang, dengan kata lain, jika seseorang itu mengalami musibah, kau berharap aku bisa membantunya, benar begitu?"

Dimas tak perlu menjawab, karena dari ekspresinya, siapapun bisa tahu jika ia menyetujui semua ucapan si pencabut nyawa.

"Perlu kau ketahui. Kelahiran, kematian, kemalangan, duka, anugerah; makhluk sepertiku tak bisa mencampurinya." Sang pencabut nyawa mengakhiri penjelasannya dengan senyum pahit.

Dimas terdiam, lama, tetapi kemudian sekonyong-konyong ia tertawa. Sang pencabut nyawa memandang tak mengerti.

Tak ada yang lucu sebenarnya. Dimas hanya tengah menertawakan diri sendiri. Bisa-bisanya ia membuang-buang permintaan terakhirnya untuk Vivian, gadis yang belum lama dikenalnya. Seharusnya ia meminta keberkahan Yang Kuasa untuk ibu dan keluarganya, tapi lihat sekarang. Ia malah bersikeras memohon perlindungan untuk orang asing. Ingat, orang asing! Ia menghela napas panjang setelah tawanya berhenti.

"Oke, kalau kamu memang nggak bisa. Kalau gitu, apa saya boleh ganti permintaan?"

Sang pencabut nyawa mengangguk.

"Ada sesuatu yang ingin saya berikan pada seseorang, tapi benda itu nggak ada sama saya sekarang. Kamu bisa temani saya pulang ke rumah buat ambil benda itu?"

.

.

.

Vivi tak ingat sudah berapa lama ia tergeletak di sini. Kemeja serta celana panjang yang dipakainya basah kuyup. Setelah memuntahkan semua isi perutnya, ia sudah tak ada tenaga lagi untuk kembali ke kamar. Bahkan untuk menggerakkan kaki saja ia tak ada daya, jadi ia membiarkan dirinya terendam air yang membanjiri lantai kamar mandi.

Tak tahan dengan dingin yang merasuk tulang, Vivi berusaha sekuat tenaga untuk duduk dan bersandar pada dinding berlumut. Pandangannya bergulir pada botol pembersih lantai yang teronggok tak jauh darinya. Dengan tangan gemetar ia meraih benda itu.

Dengan satu tarikan napas, ia bisa saja menghabiskan seluruh isi botol itu, lalu tidur selamanya. Namun, tidak, sepertinya Yang Kuasa belum mau membiarkannya meninggalkan dunia, karena tiba-tiba ketukan serta panggilan Nabila terdengar dari luar.

Vivi menghela napas sambil memandangi air yang tumpah ruah dari ember. Ia sengaja menunggu sampai Nabila bosan mengetuk dan memutuskan untuk pulang. Sayang, seperti halnya Galih, gadis kecil itu rupanya tak kalah keras kepala. Dengan kesal ia menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu sebelum membukakan pintu untuknya.

"Kamu kenapa malam-malam ke sini?"

Nabila terkejut ketika mendapati penampilan Vivi. "A-anu ..."

Vivi menunggu dengan tidak sabar, sementara Nabila berkali-kali mencuri-curi pandang ke arahnya sambil bergerak-gerak gelisah.

"Buruan ngomong. Aku lagi nyuci."

Nabil menatap handuk yang melingkar di leher Vivi sekali lagi sebelum berucap, "Budhe nyuruh Nabil buat kasih besek ini ke Neng Vivi. Tetangga yang ada di ujung gang sana habis selametan rumah. Oh, ya, Neng Vivi udah makan?" ucapnya sambil mengangsurkan satu kantong plastik hitam berisi makanan. Melihat raut Vivi yang kurang menyenangkan, ia cepat-cepat menambahkan, "Ka-kalau Neng Vivi nggak mau juga nggak apa-apa, kok. Nabil bisa bawa pulang lagi."

Bohong. Bibinya tak menyuruhnya mengantarkan besek itu. Yang sesungguhnya terjadi justru Nabila yang berinisiatif untuk memberikannya pada Vivi bahkan sebelum bibinya memerintah.

"Aku belum makan." Vivi kemudian mengambil alih besek tersebut dari tangan Nabila. "Bilang terima kasih ke Mbok Sum."

Nabila mengangguk cepat. "Kalau gitu, Nabil pulang dulu, ya."

Vivi merespons dengan gumaman sebelum menutup pintu. Ia pun langsung menyantap makanan yang diberikan Nabila, tak peduli dengan kondisi badannya yang basah serta tetesan air masih terus mengalir dari ujung-ujung rambutnya. Tiap suapan yang masuk ke mulutnya terasa hambar, padahal ia sempat menuangkan seluruh sambal ke atas nasi dengan sengaja, hingga nasi yang seharusnya putih kini terlihat merah menyala.

Sesungguhnya ia sadar betul besok ia pasti tak akan baik-baik saja. Ia punya masalah pencernaan yang berat. Bisa jadi besok ia masuk rumah sakit, atau yang paling buruk ia tidak sempat melihat mentari. Oh, itu memang yang ia inginkan, bukan?

Di sisi lain, setelah Vivi menutup pintu, Nabila tak langsung pergi. Gadis kecil itu memandangi pintu sambil menggigit bibir. Apa pekerjaan mencuci baju bisa membuat orang basah kuyup? Vivi yang ia temui tadi lebih mirip orang yang baru saja tercebur ke kolam. Bahkan tadi ia sempat melihat jejak-jejak air yang menggenang lantai sepanjang kakinya melangkah.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak mantan majikan bibinya itu?

Nabila memandang pintu yang tertutup seolah ia dapat menjangkau Vivi yang berada di baliknya. Ia bimbang. Haruskah ia menceritakan kondisi Vivi kepada bibinya? Atau Galih? Tidak. Ia tahu kakak sepupunya itu pasti akan bertindak berlebihan. Sebaiknya ia menyimpan kejadian yang ia lihat tadi untuk dirinya sendiri. Ia tak ingin menambah masalah. Karena tak ingin bibinya menunggu lama, gadis kecil itu pun berbalik dan memutuskan untuk pulang.

Baik Nabila ataupun Vivi, tak ada yang menyadari jika satu eksistansi lain terus memperhatikan interaksi mereka. Sosok itu berdiri di seberang jalan, bersembunyi di antara pekatnya malam. Di tangannya terselip sebuah kalung jimat pemberian Dimas—jiwa yang baru saja diantarnya menuju Yamaloka, tempat Hyang Yama berada.

Sosok itu meremat jimat di tangannya. Hal yang diminta Dimas sebenarnya sangat mudah, seharusnya. Ia hanya tinggal meletakkan jimat pemberian Dimas di samping tempat tidur, atau di meja, atau di  manapun yang bisa dijangkau gadis itu. Namun, mengapa keberaniannya mendadak sirna?

Sejurus kemudian, pintu kontrakan Vivi terbuka. Sosok itu terperanjat dan langsung menghilang tepat ketika Vivi keluar untuk membuang sampah.

.

.

.

Halo, ketemu lagi sama saya. Makin kemari, saya makin nggak punya kepercayaan diri buat lanjutin cerita ini, bahkan saya sempet kepikiran buat bikin cerita ini hiatus panjang. Tapi, setelah baca komen-komen kalian yang isinya sangat positif, saya jadi semangat lagi buat nerusin.

Saya tahu cerita ini masih banyaaaaak banget kekurangan. Dari typo, inkonsistensi, dan juga alur yang acak kadut, tapi saya berusaha untuk memperbaikinya. Oh ya, versi yang udah dieditnya sebenernya udah ada dan udah saya taruh di kwikku dengan judul yang sama. Ya, meski saya nggak bisa janji kalau versi sana juga sempurna sih. Soalnya saya cuma edit bagian yang typo dan membenarkan inkonsistensi yang ada semampu saya. Hehe. Kalau kalian mau mampir ke sana juga boleh~

Sebenernya lagi, saya kepengen taruh versi yang 'lebih layak' itu di wattpad juga, tapi saya pikir nanti aja setelah cerita ini selesai aja baru saya edit. Biar saya bisa lihat perbandingan dari awal saya nulis cerita ini sampai nanti akhirnya gimana.

Satu hal yang bisa saya tulis buat kalian yang udah menyempatkan diri baca cerita hesemeleh ini: Kalau bukan karena kalian, cerita ini dan saya tentunya nggak bakal bisa sejauh ini. Sekali lagi, terima kasih banyak. :)))

Maaf, saya belum bisa balas komen kalian satu per satu, tapi yakinlah saya pasti baca komenan kalian dan saya hapal siapa-siapa aja yang udah komen. Bahkan yang nge-like saya hapal. Kalian kalau mau nyapa atau berteman sama saya juga boleh. Hehe ... saya nggak gigit.

Oh ya, saya mau nanya. Di cerita ini kalian suka sama karakter siapa?

Kalau saya Nabila. :D

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang