#37 - Mimpi Panjang (4)

385 68 3
                                    

"Bisa tidak sekali saja kau tidak membuatku khawatir? Aku hampir mati karena mencemaskanmu." Dharmaja mengelus pelan kepala Angreni, menyelipkan jemarinya di antara rambut tebalnya, menyisir tiap helaian yang terasa halus, berbanding terbalik dengan telapak tangannya yang kapalan. Ia betul-betul terkejut mendengar berita Angreni terluka untuk kali kedua. Ia marah besar pada Miruda. Ingin sekali ia meremukkan tulang tangannya, tapi ia tak ingin membuat Angreni kecewa. Jadi, dengan susah payah ia meredam kemurkaannya dengan meninju kayu penyangga atap istal hingga patah.

Angreni melenguh karena tidurnya terganggu. Dharmaja tersenyum kecil sembari meletakkan jari telunjuk kanannya di antara alis Angreni lalu memijat pelan sambil menyenandungkan lagu yang sering dinyanyikan ibunya sebagai pengantar tidur. Angreni kembali tenang. Sambil memangku dagu Dharmaja melanjutkan penjelajahan tangannya di sepanjang garis wajah Angreni. Ia sadar jika gurat kekanakan di wajah Angreni memudar dari hari ke hari. Ia juga tahu tak sedikit pemuda padepokan yang membicarakan Angreni di belakang punggungnya. Mereka layaknya kumbang-kumbang yang menunggu kuncup bunga untuk mekar. Ia yakin beberapa tahun lagi Angreni akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik yang mampu menaklukan hati para pemuda.

Dharmaja menghela napas gusar. Rahangnya mengeras dengan dahi mengerut dalam. Ia amat tak menyukai pikirannya tadi.

"Ah, kau sudah pulang, Raka?"

Lelaki itu terkesiap mendengar suara Angreni. Disengaja atau tidak, raut wajah Dharmaja berubah menjadi jenaka. Senyum konyol yang sering ia perlihatkan pada Angreni spontan terpasang.

Angreni melirik, lalu pura-pura mendengkus kesal. "Aku sedang sakit. Jangan menunjukkan mimik seperti itu," ucapnya sambil merengut sambil memberi isyarat pada Dharmaja untuk membantunya duduk. Selimut yang tadi menutupi sampai ke dadanya merosot jatuh.

"Menunjukkan apa?" Dharmaja pura-pura tidak tahu. Setelah memastikan Angreni duduk dengan nyaman, ia melipat selimut bekas pakai Angreni dan menyimpannya di lemari.

Melihat hal itu Angreni diam-diam tersenyum; lega karena yang berada di sisinya adalah Dharmaja. Saat ini tidak ingin ditemani siapapun, terutama yang memiliki hubungan dengan Miruda. Bisa dibilang, ia sedikit trauma. Angreni merasakan luka di pelipisnya berdenyut. Ketika ia menyentuhnya, ia merasakan bobok yang telah mengering dan meringis kala mendapati bagian sekitar luka membengkak. Wajahnya pasti jelek sekali sekarang. Ia tertawa dalam hati. Bisa-bisanya ia mengkhawatirkan penampilan. Dulu ia bahkan tak mempermasalahkan jika ia tak mandi berhari-hari. Apakah karena pengaruh bergaul dengan para seniman wanita di sini?

"Lukamu akan sembuh jika kau mengobatinya dengan teratur. Untuk bengkaknya kemungkinan akan mengempis beberapa hari lagi," jelas Dharmaja, seakan-akan mengerti hal yang dirisaukan Angreni. Ia berjalan mendekat, kemudian menangkupkan wajah Angreni dengan kedua tangan—membuat gadis kecil itu mendongak—dengan niat memastikan keadaan luka Angreni sekali lagi.

Dua pasang mata bertemu dan tanpa sadar mengunci satu sama lain, membuat keduanya terhanyut dalam keheningan. Angreni tak tahu apa yang sedang terjadi karena Dharmaja mendadak bergeming. Dari sorot matanya, Dharmaja layaknya orang tersesat yang mencari jalan keluar. Ia terkejut saat merasakan genggaman lelaki itu di wajahnya menguat, tapi tak sampai menyakiti.

"Raka?" Angreni mengerjap bingung.

Dharamaja yang pertama kali memutuskan kontak mata. Semenjak bertemu Angreni ada sesuatu yang ia sembunyikan selama ini dengan sangat rapi. Namun, hal itu sekarang mencoba menerobos keluar, nyaris mengoyak jeruji yang ia buat seperti pertahanan. Ia tak ingin Angreni mentahuinya secepat ini. Ia sungguh belum siap menerima kemungkinan terburuk yang akan terjadi. "Apa kau lapar?" tanyanya, berusaha untuk menutupi kecanggungan.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang