#34 - Untaian Maaf (2)

641 93 3
                                    

Rayung melirik ibu mertuanya sekali lagi. Dadanya masih bergerak naik-turun dengan teratur, matanya tetap terpejam damai. Ia mungkin tak akan bangun sampai petang. Karena ia sudah sangat terlatih, mudah baginya untu pergi tanpa membuat keributan sedikit pun.

Pintu rumah rumah ditutup rapat. Dengan langkah cepat ia menuju gerbang. Empat anak tangga batu gapura ia turuni, di saat yang sama, suara kentungan bertalu-talu dari arah alun-alun balai desa sebanyak lima kali. Sudah masuk ghatita lima. Masih ada jeda dua ghatita sebelum suaminya pulang.

Langit di atas kepala masih kelabu, matahari masih bersembunyi, tapi hujan sudah berhenti. Seraya mengangkat sedikit kain yang membungkus tubuh bagian bawah, Rayung melangkah menyusuri jalan. Kaki-kaki telanjangnya berjengit tiap kali ia merasakan genangan air hujan. Ia memeluk tas rotannya erat sekaligus merapatkan mantel guna menghalau hawa dingin sampai ke tulang. Siang ini tak banyak yang berlalu-lalang, ia hanya menjumpai beberapa gerobak-gerobak yang ditarik lembu milik petani dan pedagang.

Rayung kemudian berbelok ke utara setelah melewati alun-alun. Sepanjang perjalanan yang bisa ia lihat hanyalah hamparan tegalan-tegalan dan sawah-sawah yang padinya mulai menguning serta pemandangan Gunung Pawini. Sepi menyelimuti, tetapi hal itu tak berlangsung lama. Semua berubah setibanya di pusat kota Daha. Rayung langsung bisa merasakan hingar bingar orang yang sibuk dengan urusan masing-masing.

Lima tahun yang lalu, ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di pusat kota, ia sengaja membuat keributan kecil agar bisa masuk dengan mudah tanpa harus menunjukkan surat identitas. Namun, siapa sangka jika apa yang dilakukannya malah mempertemukannya dengan Magani.

Pusat kota Daha merupakan tempat termegah di Negeri Panjalu. Tembok batu berukir yang memisahkan istana raja dan keluarganya dengan dunia luar, ditambah dengan telaga, taman, dan kanal merupakan bukti yang tak terbantahkan. Di sini pula gedung-gedung pemerintahan, permukiman para bangsawan, cendikia pendeta, pemuka agama, juga hamba-hamba sahaya mereka berada. Rumah-rumah diatur berjajar, berpagar-pagar kayu ukir, berhias kain warna-warni, serta bertiang-tiang besar. Sungguh berbanding terbalik dengan tempatnya tinggal. Walau masih terletak di wilayah Daha, daerah yang ia tempati hanyalah salah satu dari sekian desa penyangga. Tak ada kesan mewah. Semuanya serba sederhana.

Pasar di sebelah barat, yang berbatasan langsung dengan gerbang pusat kota dan anak bengawan Brantas adalah tempat yang ditujunya. Hiruk-pikuk kegiatan niaga masih terasa walaupun hujan mengguyur beberapa saat lalu. Ia lalu mengunjungi salah satu penginapan yang cukup ramai. Banyak orang asing yang hilir-mudik. Mereka ini biasanya adalah duta dari negara-negara jauh atau saudagar kaya yang berniat peruntungan menjual barang di negeri ini.

Rayung kemudian memilih salah satu bale yang diletakkan berjajar di depan kedai setelah mencuci kaki. Jubah dilepaskan sambil sesekali melirik orang-orang yang duduk di bale sekitarnya. Di bale sebelah kiri, ada tiga lelaki Keling dengan kulit sangat gelap, kumis tebal yang menghiasi wajah, beserta destar berhias manik-manik di kepala. Bale sebelah kanan diisi oleh kelompok lelaki berkulit pucat dan bermata kecil dengan pakaian berlapis-lapis—yang ia tebak merupakan saudagar dari Cina.

Di bale, ia duduk bersimpuh seraya menopangkan sebelah tangan ke atas meja kecil. Rambutnya yang berhias jamang dibiarkan tergerai, sedikit basah karena tetesan hujan yang terjatuh dari daun yang tertiup angin. Ia lalu menyeka dan merapikannya dengan sisir kayu yang diambil dari tas rotan miliknya.

Satu pelayan lelaki yang tengah melayani pelanggan meliriknya, ketika pandangan mereka bertemu, Rayung mendekatkan gelas tembikar kosong sampai ke dekat mulut. Mengerti dengan isyarat itu, si pelayan lelaki mengangguk samar sebelum kembali melayani tamu.

Rayung membiarkan pelayan lelaki itu untuk melakukan urusannya, sementara dirinya berpura-pura mematut wajah. Sebuah cermin bergagang ia keluarkan dari tas rotan. Melalui pantulan cermin itu ia kembali mengawasi keadaan. Selendang brokat tipis yang melingkar pada pundak sedikit merosot. Ia menaikkan kembali selendang itu agar menutupi bahu. Di waktu yang sama, pelayan lelaki yang tadi bertukar isyarat dengannya datang.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang