Dharmaja berdecak sambil mengibaskan tangannya. "Ya sudah, lupakan ucapanku barusan. Aku juga tak peduli kau mau memakai topeng atau tidak."
Lelaki di hadapannya mengangguk pelan. "Maafkan atas perbuatan Pesuruhku yang sudah bertindak kasar padamu."
"Pesuruhmu?" Dharmaja berjengit, detik berikutnya ia langsung mengerti. "Ah, jadi kau adalah Hyang Yama. Sungguh kehormatan aku bisa bertemu denganmu langsung."
"Aku terkesan karena kau pandai bersembunyi. Selama bertahun-tahun ini kau seperti raib tanpa jejak," tutur Yamadipati tanpa emosi, seolah-olah dia sudah terbiasa menghadapi kasus roh-roh yang dijemput lenyap lalu kembali menjadi roh jahat.
"Terima kasih atas pujiannya." Dharmaja tersenyum pongah. "Oh, ya, kau tampak sangat tenang. Tidakkah kau ingin menunjukkan kemurkaanmu padaku?"
Yamadipati menggeleng. "Aku tidak akan murka karena aku mengerti."
Dharmaja menatap nyalang dan meraung. "Apa yang kau mengerti?! Kau bahkan tidak melihat apapun!"
"Aku melihat semuanya." Yamadipati berujar tenang.
Dharmaja tak pernah merasa selucu ini. Ia pun terbahak-bahak sambil menunjuk-nunjuk Yamadipati. "Ya, kau tahu karena ada Pesuruh-Pesuruhmu itu! Jika tidak ada mereka, kau tak mungkin tahu! Oh, apa semua tugas dewa hanya ongkang-ongkang kaki?"
"Maafkan aku. Itu merupakan kesalahanku." Tanpa diduga nada bicara Yamadipati melemah.
Dharmaja terdiam lalu menatap Yamadipati lekat-lekat. Ia jadi teringat dengan salah satu epos yang pernah ia pelajari tentang dewa ini. Yamadipati pernah ditinggalkan pasangannya yang lebih memilih dewa lain. Di saat itulah ia tak lagi percaya adanya kesetiaan. Namun suatu hari, di dalam tugasnya ia malah bertemu pasangan manusia yang begitu setia. Sang istri rela mengorbankan nyawanya sendiri agar dewa itu tak mencabut nyawa suaminya. Yamadipati bimbang. Ini pertama kali nuraninya diuji. Di satu sisi, sudah menjadi tugasnya untuk mencabut nyawa si suami, tapi ia tak sampai hati jika harus memisahkan mereka.
Karena terhanyut akan perasaannya, ia tak jadi mencabut nyawa manusia itu dan pergi begitu saja. Hal ini tentu mendatangkan kemurkaan dari Yang Kuasa. Yamadipati pun mengakui kesalahannya dan dihukum untuk terus mendekam di Narakaloka. Tugasnya untuk mencabut nyawa kemudian digantikan oleh orang-orang berdosa yang tengah menjalani hukuman sebelum bereinkarnasi.
Mendadak Dharmaja tertawa begitu keras sampai napasnya tersengal-sengal. Jika saja dia masih hidup, mungkin dia bisa mati karena tawanya itu. "Kita sama-sama hancur karena dikhianati. Oh, kita sungguh tidak beruntung, bukan begitu?"
Yamadipati tak membalasnya. Ia masih tetap tenang bersimpuh di samping kepala Dharmaja.
Dharmaja mendengus. "Sekarang apa? Kau mau menghukumku? Aku jelas telah melakukan dosa besar, kan?"
Yamadipati mengeluarkan gulungan lontar dari telapak tangan kanannya. "Kau memang telah melakukan kesalahan besar." Ia lalu terdiam sebentar, sementara Dharmaja menunggu dengan resah. Di dalam kepalanya telah tergambar hukuman-hukuman kejam yang mungkin akan ia terima. Kalau boleh jujur, sesungguhnya ia takut. Pengecut? Tentu, dia memang pengecut. Siapa pun pasti akan ketakutan ketika dewa kematian tepat berada di hadapanmu dan siap menyidangmu kapan saja.
Gulungan di tangan Yamadipati menutup dan tiba-tiba menghilang. "Citragupta* sungguh pencatat yang baik. Ia mencatat tiap detail yang mungkin telah kau lupakan."
"Maaf atas kelancanganku, tapi apa yang kau baca tadi?"
"Agrasamdhani atau catatan kehidupan milikmu. Di sini tertulis lengkap perjalanan hidupmu dari masa ke masa, serta kebajikan dan keburukan yang telah kau lakukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Ficción histórica[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...