Kabar dari Rawisrengga bagai petir yang menyambar di siang bolong. Sisa pesta inisiasi itu Angreni lewati dengan gelisah. Ia bahkan tak memperhatikan hal yang dikatakan Rawisrengga setelahnya.
Tepat setelah pesta usai, Angreni pamit menuju kamar, dengan alasan lelah menjalani hari dan ingin tidur secepatnya. Perbuatannya itu tentu meninggalkan tanda tanya besar, terutama bagi Miruda yang sempat menangkap raut sedih di wajah gadis itu.
Angreni kemudian membersihkan diri dengan cepat lalu merebahkan diri di pembaringan. Lampu damar dimatikan sehingga penerangan yang tersisa hanyalah nyala obor yang dipasang di tiang penyangga atap di luar. Ia kira ia akan lekas terlelap jika memaksa matanya terpejam. Akan tetapi, sampai pukulan kentungan lima kali terdengar*, ia tak kunjung tertidur.
Gadis itu melirik jendela yang sengaja ia buka. Malam telah turun dan sebentar lagi fajar akan segera menyingsing. Ia jadi bertanya-tanya, apakah Dharmaja bisa terlelap ataukah lelaki itu tetap terjaga, seperti dirinya.
Dharmaja, ya.
Haruskah ia ikut memanggil lelaki itu dengan Nilaprabangsa seperti seisi padepokan yang memanggilnya demikian? Tidak. Ia sama sekali tak menyukainya. Nama itu terlalu asing di lidah, begitu pun dengan sosok pemilik nama yang ada di bayangannya, meski pada kenyataannya dua nama dimiliki orang yang sama.
Ah, ada di mana laki-laki itu sekarang?
Angreni menghela napas panjang, mengubah posisi tubuhnya menjadi telentang, lantas mengamati atap dengan pandangan mengawang. Ia tidak tahu sudah berapa banyak waktu terbuang lantaran melamun hingga telinganya menangkap samar kokok ayam yang sahut-menyahut di luar.
Baiklah. Jika Dharmaja tidak ingin menemuinya, maka dia yang akan mencari dan meminta penjelasan mengapa lelaki itu menghindarinya.
Ia pun melompat turun dari dipan, lalu berlari ke tempat-tempat yang mungkin Dharmaja kunjungi seperti orang gila. Beberapa murid perempuan yang hendak menuju pemandian bertanya padanya apa yang tengah ia cari, tapi Angreni melewati mereka begitu saja tanpa menjawab.
"Sebenarnya kau ada di mana, Raka?" gumamnya putus asa. Bagai mencari jarum di umpukan jerami, Dharmaja seolah-olah ditelan bumi. Di kamar, istal, dapur, halaman belakang, sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaanya. Bahkan ketika ia bertanya pada Agrapinda, bocah itu tak membalas dengan gelengan serta permintaan maaf.
Angreni menyerah dan memutuskan kembali. Akan tetapi, betapa terkejutnya ia saat menemukan orang yang dicarinya sedari tadi rupanya berada di depan kamar.
Segala perasaan berjejelan dalam dada. Angreni tidak tahu apakah ia sanggup menahan diri untuk tidak meledak di hadapan Dharmaja. "Apa yang kau lakukan di sini, Raka?" tegurnya. Sekuat tenaga ia sembunyikan nada sumbang dalam suaranya.
Dharmaja berbalik dan Angreni bersumpah baru kali ini menangkap riak luka di mata lelaki itu.
"Angreni." Sebelah tangan Dharmaja terangkat, tapi ia kembali menurunkannya karena Angreni beringsut menjauh. Lelaki itu tersenyum pahit. "Maaf karena ketidakhadiranku kemarin."
"Apakah tujuanmu kemari hanya untuk mengatakan itu?" potong Angreni cepat. Batinnya masih berperang haruskah ia menerima ucapan maaf dari Dharmaja begitu saja atau tidak.
Dharmaja menggeleng lemah. Bibirnya bergetar. "Aku kemari untuk memberikan ucapan selamat padamu." Ia meraih tangan Angreni, lalu meletakkan sebuah benda kecil berlapis kain sutra di atasnya. "Aku juga hendak memberikan ini sebagai hadiah kepadamu."
Dalam sekejap, Angreni merosot jatuh. Tangisnya pecah dan bergabung bersama nyanyian malam. Hadiah yang diberikan lelaki itu ia genggam erat di depan dada. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi kenapa kau menghilang kemarin? Kau tahu, aku ... aku mencarimu ke mana-mana. Apakah kau tidak tahu kau adalah orang pertama yang ingin kulihat setelah masa pengasinganku selesai? Kenapa kau menghindariku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Tarihi Kurgu[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...