#8 - Candra Kirana

3K 422 7
                                    

"Sekartaji," ucap si hantu sambil memandangi ombak laut yang datang silih berganti. Senyum sinis terbit di wajah ketika ia kembali mengingat kejadian beberapa saat lalu.

Vivi, gadis yang ia yakini sebagai reinkarnasi Sekartaji, menumpahkan segala pernderitaannya kepadanya. Oh, lihat, karma memang adil. Apa yang ia tanam di masa lalu, akhirnya ia tuai sekarang. Apa yang ia lakukan pada Paramesywari asli Daha dulu, cepat atau lambat akan ia dapatkan.

"Aku bersumpah demi nama Daha dan Paramesywari Angreni, kau akan menerima ganjaran dari perbuatanmu di masa lalu, Sekartaji."

Si hantu lalu menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas. Kepalanya terangkat menatap indahnya langit malam.

Malam ini bulan bersinar begitu cantik. Cahaya keemasannya bagaikan selendang dewi yang turun dari langit. Seketika sebuah ingatan tentang masa lalunya hadir kembali dan mampu menghadirkan senyum lembut di wajah si hantu. Ketika mereka pertama kali bertemu, bulan pun juga tengah bersinar dengan sangat terang. "Candra Kirana*," gumamnya.

Sebagai seorang pengembara, ia tentunya tak akan menetap di suatu tempat dengan kurun waktu yang lama. Rasa hausnya akan pencarian jati diri dan ilmu selalu menuntunnya untuk singgah ke daerah-daerah baru, demi belajar memaknai hidup, meski resikonya ia harus menjadi gelandangan yang tak memiliki tujuan untuk pulang.

Ia biasanya akan berpergian bersama kelompok-kelompok pedagang. Menurutnya, hal ini adalah cara paling aman untuk melindungi diri para perampok ketimbang ia harus berjalan sendiri. Selain itu, ia juga ingin memperluas relasi, yang mungkin akan ia butuhkan suatu saat nanti.

Dalam perjalanan kali ini, bersama dengan sebuah kelompok pedagang, ia berencana untuk pergi ke barat. Ia mendengar kalau di negeri barat banyak terdapat mahaguru yang tak tertandingi kebijaksanaannya.

Ketika mereka memasuki wilayah Wwatan*, mentari sudah nyaris kembali ke peraduan. Sang pemimpin kelompok memerintahkan untuk bermalam, karena ia tahu, daerah ini merupakan sarang perampok gunung tangguh. Obor-obor damar dinyalakan. Kuda-kuda kekar dan sejumlah cikar yang ditarik kerbau ditambatkan. Lima pemuda—termasuk dirinya—diperintahkan untuk mencari kayu bakar, sementara sisanya bersama dengan para wanita menjaga barang dagangan.

"Kudengar, bandit gunung yang suka beraksi di sini terkenal kejam." Salah satu pemuda tiba-tiba saja mengajaknya bicara.

"Benarkah?" sahutnya sambil memanggul seikat kayu kering yang berhasil dikumpulkannya tadi.

"Kita harus berhati-hati," timpal pemuda yang lain.

Pemuda yang tadi mengajaknya bicara pertama kali berkata lagi, "Oh, ya, kau belum memperkenalkan diri kepada kami. Siapa namamu? Aku dengar dari ketua kalau kau adalah orang hebat. Apa itu benar?"

Ia tertawa kecil. "Tidak. Itu tak benar. Aku hanyalah pengembara biasa dan orang-orang biasa memanggilku Dharmaja," katanya sambil mengikat kayu dengan tali yang terbuat dari serabut kelapa. "Kalian tahu, justru orang yang hebat adalah sang ketua karena ia mau menerima diriku untuk ikut dalam rombongannya ini."

"Begitukah?" Si penanya mengangguk samar sebelum melanjutkan, "Lalu, dari mana asalmu?"

"Aku berasal dari desa kecil di kaki Gunung Paniwihan*." Baru saja Dharmaja selesai berucap, sebuah siulan nyaring terdengar. Ini adalah tanda dari sang ketua.

"Perampok muncul!"

Kelimanya cepat-cepat kembali. Sayangnya, ketika mereka hampir mendekati tempat peristirahatan, sebuah anak panah tiba-tiba melesat dan nyaris mengenai bahunya jika saja ia tak sempat menghindar. Sebagai seseorang yang memiliki ilmu beladiri, ia pun segera bangkit dan bergegas mendekati sang ketua yang tengah melindungi barang dagangan.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang