Mereka beruntung karena setibanya di pasar yang dimaksudkan para petani, terlihat beberapa pedagang yang masih menggelar dagangannya. Dharmaja lantas membeli beberapa potong dendeng ikan, nasi, serta lalapan segar. Setelahnya, ia mengajak Angreni untuk duduk di sebuah bale bambu milik pedagang sementara kudanya ia biarkan merumput tak jauh dari tempat mereka beristirahat.
"Maaf, karena aku tak memiliki barang yang bisa kutukar dan kebetulanaku juga hanya memiliki sedikit uang, jadi aku hanya bisa membeli ini." Dharmaja tertawa sambil menunjukkan serenceng keping uang logam besi yang tadi ia simpan dalam kantung kulit yang terikat pada ikat pinggangnya. "Lagi pula kita harus berhemat."
Angreni termangu menatap makanan di hadapanya. Selama ia hidup, dirinya belum pernah dihidangkan makanan semewah itu. Ia terbiasa makan makanan hasil belas kasihan orang-orang. Bahkan ketika masih menjadi tawanan perampok gunung, terkadang ia tak makan berhari-hari. Atau, jika mereka sedang berbaik hati, ia dan ibunya akan diberikan makanan sisa yang bentuknya tak lebih baik dibanding muntahan binatang.
"Kenapa kau tidak makan? Apa kau tidak suka dendeng ikan?"
Angreni menggeleng singkat.
"Kalau begitu apa masalahnya?" Dharmaja mengambil sepotong kecil dendeng lalu lalu menyodorkan potongan dendeng. "Makanlah. Ini enak."
Gadis kecil itu menatap Dharmaja dan dendeng di hadapannya bergantian. Kilat ragu terpancar jelas dari matanya. Dharmaja yang tidak sabar langsung menyuapkan dendeng di tangannya ke mulut Angreni. Dahi gadis kecil itu mengerenyit kala lidahnya mencecap rasa asin gurih daging dendeng.
"Bagaimana rasanya?" tanya Dharmaja dengan sorot mata antusias. "Apa kau suka?"
Pertanyaan Dharmaja dijawab Angreni dengan lelehan air mata dan sedu sedan.
"Hei, ada apa denganmu?" tanya Dharmaja gusar.
Angreni menggeleng sambil mengusap air mata yang membanjiri pipi.
"Lalu, kenapa kau menangis?"
"A-aku hanya berharap kalau ibuku juga bisa memakan ini," ucap Angreni tersendat-sendat di antara isak tangis.
Dharmaja menghela napas lega karena Angreni ternyata baik-baik saja. Sebelah tangannya kemudian ia gunakan untuk menghapus jejak-jejak air mata di mata Angreni. Setelahnya, ia menepuk-nepuk pelan kepala gadis kecil itu.
Angreni tertegun. Gestur sederhana itu sangat berarti baginya. Walau Dharmaja tak mengucapkan apapun, tapi ia mampu menangkap kata-kata menenangkan yang lelaki itu lontarkan secara tersirat.
"Nah, sekarang makanlah. Kau harus makan yang banyak." Dharmaja berucap dengan mulut setengah penuh oleh nasi.
Gadis kecil itu mengangguk sambil tersenyum samar. Kali ini ia mengambil makanan yang tersaji di hadapannya tanpa ragu. Nasi beserta lalapan yang dibungkus daun jati menjadi pilihannya. Di tiap kunyahan yang ia lakukan, Angreni terus berdoa semoga momen-momen tak akan pernah sirna.
Usai mengisi perut, Dharmaja memutuskan untuk mencari penginapan dengan alasan ia tak tega melihat Angreni selama berhari-hari tidur di tanah tak beralaskan apapun. Menurutnya, Angreni tetaplah seorang gadis yang harus dirawat baik-baik. Mendengar hal itu, Angreni buru-buru menyanggah. Ia berkata kalau dirinya tidak masalah tidur beralaskan tanah atau rerumputan. Sayangnya, Dharmaja merupakan tipe orang yang keras kepala dan sulit disanggah. Ia akan tetap bersikeras mempertahankan keputusannya meski seisi dunia menentang.
Setelah bertanya pada beberapa pedagang, semuanya memberi jawaban yang sama. Karena tempat ini berada di daerah pedalaman, penginapan terdekat hanya berada di desa induk yang letaknya tak terlalu jauh. Penginapan itu memang khusus disediakan untuk para pedagang dan juga brahmana yang singgah ke desa mereka.
"Baiklah, mereka bilang kita bisa sampai sana sebelum matahari tenggelam jika kita berkuda. Ayo, Angreni," Tanpa aba-aba, Dharmaja menggendong tubuh kecil Angreni lalu mendudukannya di atas pelana kuda. Ia pun menyusul setelahnya.
Perjalanan mereka menuju desa induk berlalu tanpa halangan. Sesampainya di sana mereka pun disambut dengan ramah oleh pemilik penginapan. Dan, lagi-lagi karena harus menghemat, Dharmaja hanya memesan satu kamar untuk mereka berdua. Awalnya sang pemilik terlihat ragu, tetapi Dharmaja langsung berkata bahwa Angreni adalah putrinya. Angreni sendiri tentu ingin membantahnya. Namun, Dharmaja seperti punya seribu satu cara untuk membungkamnya serta meyakinkan si pemilik penginapan kalau mereka memanglah sepasang ayah dan anak.
Setibanya di kamar sewaan, Dharmaja tergelak dan berkata, "Hidupku sudah penuh kebohongan, jadi berbohong satu kali pun tak masalah. Biarlah Yang Kuasa saja yang tahu akan hal itu."
.
.
.
Ketika malam telah sampai puncak, Dharmaja bangkit dari rebah. Sejujurnya sedari tadi ia tak tertidur. Pikirannya melanglang buana sambil mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan selama dua tahun belakangan. Ia tak lagi mendengar kabar mengenai Rawisrengga, kedua adiknya, dan juga paramesywari pasca kudeta yang menewaskan nyaris seluruh anggota kerajaan beserta sang maharaja sendiri. Untunglah salah satu orang kepercayaan maharaja mampu mengelabui para pemberontak hingga mereka kabur.
Dharmaja menghela napas berat. Dirinya memang bisa kabur bersama rombongan Rawisrengga. Akan tetapi, tugas yang diembannya begitu berat karena sebelum menghembuskan napas terakhir, maharaja berpesan kepadanya kalau dia harus melindungi anggota kerajaan yang tersisa. Ia tahu betul isi pesan tersebut maknanya jauh lebih dalam daripada itu. Ia yakin kalau ayahnya secara tersirat memerintahkannya untuk mengumpulkan bala bantuan guna membalaskan dendam.
Lelaki itu kemudian terkekeh. Lihat sekarang, orang yang diberi kepercayaan malah melarikan diri dan tak peduli apakah nasib Rawisrengga baik-baik saja atau tidak. Bukankah ia juga lebih mirip pemberontak? Ah, persetan.
Karena bosan, dilihatnya ke samping di mana Angreni tengah terlelap. Punggung gadis kecil itu terlihat sangat ringkih dan rapuh. Padahal umurnya baru dua belas, tapi gadis kecil itu telah mengalami banyak hal-hal buruk. Jika dibanding dirinya, ia masih bisa dibilang beruntung. Meski hanyalah anak seorang selir, ia tetap mendapatkan segala kemewahan dalam istana. Belajar, berlatih, berburu, semua itu ia lakukan demi menjadi pelindung anak-anak dari paramesywari.
Lama Dharmaja merenung, tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan rintih serta isakan lirih Angreni. Karena takut terjadi sesuatu, lelaki itu buru-buru memeriksa. Namun, hatinya serasa diiris kala mengetahui Angreni ternyata menangis dalam tidurnya.
Dengan lembut Dharmaja menepuk-nepuk kepala Angreni sambil menyenandungkan sebuah lagu yang dulu sering ibunya dendangkan sebelum tidur. Sekali tangannya turun untuk menyibak rambut panjang Angreni yang tergerai. Terlihat sebuah bekas luka bakar besar yang menghiasi pundak kanan sampai pertengahan punggung. Dharmaja mengusap pelan bekas luka itu. Punggung bersih tak bercela telah ternoda, pun begitu dengan jiwanya. Rasa ingin melindungi seketika tumbuh dengan subur di hati Dharmaja.
Tak lama, gurat resah wajah Angreni mengendur. Setelah yakin tangisan gadis kecil itu reda, Dharmaja turun dari dipan. Dengan langkah perlahan ia pun keluar kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Tarihi Kurgu[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...