Seperti yang sudah dijanjikan, Tante Dinar betul-betul datang. Vivi yang hendak pulang terpaksa membatalkan niatnya itu.
"Vivi!"
Vivi berdecak saat namanya dipanggil. Bagus sekali. Sekarang bagaimana caranya ia menghindar dari wanita itu. Percuma saja ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya agar ia bisa pulang setengah jam lebih awal, jika orang yang dihindarinya malah muncul tiga puluh menit lebih cepat dari waktu yang dijanjikan.
"Kenapa datang?" tanya Vivi ketus. "Bukannya Vivi sama sekali sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi sama kalian?"
Wanita berambut sebahu itu pun turun dari atas motornya sambil melepas helm. "Bude masih pegang salinan surat wasiat ibumu, jadi secara nggak langsung Bude masih bertanggung jawab atas hidup kamu."
"Kalau boleh jujur, ya, Tante, Vivi nggak butuh. Vivi bisa hidup sendiri tanpa bantuan kalian," tukas gadis itu sambil berbalik. Akan tetapi, sebelum ia berhasil melangkahkan kaki, Tante Dinar sudah lebih dulu menangkap lengannya.
"Vivi, kamu mau melawan kayak ibumu? Kamu nggak ingat dengan cerita masa lalu ibumu?"
Vivi mendengus sambil menepis kasar tangan Tante Dinar di bahunya. "Mama adalah mama. Aku adalah aku. Nggak usah banding-bandingin segala!"
"Kamu betul-betul mau mengulangi kesalahan ibu kamu? Coba lihat, kalau aja dulu ibu kamu dengar kata Si Mbah, sudah pasti nasibnya nggak bakal begini! Kamu tahu kenapa ibumu terus-terusan menderita? Karena dia sudah durhaka sama Si Mbah!"
Vivi bergeming. Tangannya meremas tali tas selempang yang ia bawa.
"Setelah nikah ama bapakmu, apa lantas ibumu senang? Nggak, kan? Coba aja dulu dia nurut. Padahal dulu laki-laki yang mau dijodohkan sama ibumu itu dokter dan dia sangat mapan, beda banget sama bapakmu."
Vivi menggeram. "Jangan beraninya Tante bawa-bawa nama papa!"
"Apa? Memangnya kebaikan apa yang sudah bapakmu lakukan itu, hah?! Jadi penipu, masuk bui, dan mati pun di penjara? Apa itu patut dibanggakan? Terus, siapa sekarang yang mau menerima kamu dan ibumu kalau bukan kami? Apa keluarga dari bapakmu itu? Bukan mereka! Mereka bahkan nggak ada niat buat nengok kamu. Mana mereka pas lagi ibumu susah? Kita yang bantu ibu kamu. Kita yang nampung kamu. Apa mereka tahu kalau kamu bahkan diolok-olok di sekolah. Memangnya mereka yang bela? Kita yang bela kamu, Vivi!"
Tanpa sadar, setitik air mata lolos. Seperti luka yang disiram air cuka, begitulah kondisi hatinya sekarang. Sebegitu hinakah dirinya serta kedua orang tuanya?
"Coba aja waktu itu dia nggak kabur sama bapakmu waktu dijodohkan. Dia nggak mungkin berakhir bunuh diri dan menanggung dosa. Makanya jadi anak itu harus nurut sama orang tua, biar hidup kamu selamat."
Lalu, apa Tante bisa jamin kalau mama masih hidup kalau dia nikah sama dokter itu? Seharusnya Vivi mengucapkan kalimat itu sebagai pembelaan diri, tapi ia sudah terlampau lelah untuk mendebat semua kata-kata sang bibi. Ia telah merasa kalah dalam berbagai hal.
"Sekarang kamu ikut Bude. Kita bicara di tempat lain, mengerti?"
Seperti sapi yang dicucuk hidungnya, Vivi pun menuruti perintah Tante Dinar tanpa banyak bicara.
.
.
.
Rumah makan yang letaknya persis di salah satu kawasan wisata pantai adalah tujuan mereka. Sebuah meja yang telah dipesan sebelumnya oleh Tante Dinar berada di balkon lantai dua. Posisinya sangat strategis karena menghadap langsung ke laut lepas.
Tante Dinar bilang kalau hari ini ia akan bertemu dengan laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. Vivi tidak tahu dan tak mau tahu bagaimana bentuk laki-laki itu. Bahkan ketika Tante Dinar mengoceh panjang lebar, menjelaskan hal-hal baik tentang si lelaki, ia lebih banyak diam sambil menatap kosong ke arah laut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Historical Fiction[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...