13 ; tanggal cantik

58 22 4
                                    

Januari berakhir, kini bulan kedua dalam tahun masehi menyapa—Februari. Hubunganku dengan Fharen Kembali baik seperti biasanya. Meskipun setelah kejadian kemarin kami belum pernah bertemu lagi, tetapi kami selalu memberi kabar lewat chat.

Hari itu hari Selasa siang, di rumahku, pukul 2 siang, tepat Ketika aku sudah pulang dari sekolah. Seperti biasa, aku sedang chattingan random dengan Fharen ditemani makan siangku.

Di aula ada hantunya ya?

Di setiap kelas juga ada kali

Di kelas kamu juga ada hantunya

Ih jangan nakut-nakutin!

Ada pocong, ada kuntilanak juga loh

Ih nyebelin

Udah, udah

Kuntilanaknya cantik loh

Pernah aku bonceng

Ih kok mau bonceng begituan

Habisnya cantik jadi aku bonceng deh

Ya udah gih sana sama kuntilanak aja

Iya ah, besok mau bonceng lagi

Jujur, kali itu aku benar-benar menganggap perkataan Fharen serius, membuat aku cemburu kepada mbak kunti yang pernah dibonceng Fharen. Fharen yang mengetik kata ‘besok’ membuatku teringat saat memberi tanggal di buku sekolah tadi.

Eh btw besok tanggal cantik loh

Jadian sama kuntilanak gih

Iya ah mau

Menyebalkan, aku mengetik seperti itu karena cemburu kepada mbak kunti, tapi Fharen malah menjadi-jadi.

Besok free ga?

Bisa ketemu?

Belum sempat aku membalas pesan Fharen, ponselku bergetar cepat, Bibi—adik ayahku—menelepon. Dengan segera aku menjawab panggilan telepon itu.
           
“Waalaikumsalam, kenapa bi?” jawabku setelah orang di sebrang telepon.
           
“Papah? Ada. Iya handphonenya mati lagi di cas,” jelasku sembari berdiri dari dudukku.
Kegiatan makan siangku jelas tertunda.
           
“Sebentar, Dae, ke Papahin ya,” ucapku.

Aku menghampiri ayahku yang berada di teras depan Bersama ibuku, lalu aku menyerahkan ponselku.
           
“Pah, ini Bibi. Dae lanjut makan ya?” ucapku sembari pergi masuk kedalam.
           
“Habisin makanannya!” sambung ibuku yang melihatku.

Aku Kembali melanjutkan kegiatan makan siangku, sedikit terasa sepi saat aku tidak memegang ponselku untuk chattingan dengan Fharen. Kali itu pengganti chattinganku dengan Fharen adalah tontonan kartun di televisi.

Cukup lama hingga aku selesai makan siang, tetapi ponselku belum juga Kembali. Aku berniat menghampiri ayahku lagi diluar setelah mencuci piring bekasku makan. Sesampainya aku di teras depan, ibuku senyum-senyum melihatku.
           
“Kenapa?” tanyaku yang tidak dijawab ibuku.
           
“Mana HP, Daelyn?” lanjutku mengulurkan tangan kananku.

Ponselku sudah berada di tangan ibuku. Dengan menahan tawa, ibuku menyerahkan ponselku.
           
“Itu ayang nanyain,” ucapnya setelah menyerahkan ponselku.

LAH IYA LAGI CHATINGAN SAMA FHAREN—batinku panik.

Aku buru-buru berlari masuk kamar. Malu kurasakan karena diciduk ibuku. Ibuku ini kenapa kepo sekali, ya? Aku bertanya-tanya. Aku segera merebahkan diriku di Kasur, lalu dengan segera membalas chat Fharen tentunya.

𝐃𝐢𝐬𝐚𝐬𝐭𝐞𝐫 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang