14 ; moon

53 22 4
                                    

Aku menyukai bulan, terlebih lagi bulan sabit. Meski cahaya bulan tidak secerah matahari, tetapi cahaya bulan sangatlah cantik. Aku menyukai bulan tanpa alasan, dan kini aku juga menyukai Fharen, sama-sama tanpa alasan.

Siang hari, 2 Februari, di kelas 12 AKL 3. Aku dan Fharen resmi berpacaran. Setelah menandatangai sepucuk kertas dari Fharen, kami berbincang sebentar. Fharen duduk disebelahku.
           
“Kertasnya mau di bawa sama siapa?” tanya Fharen.
           
“Sama kamu aja,” jawabku.
           
“Jadian kita mahal, ya? Harus pake materai segala,” lanjutku melihat kertas itu.
           
“Iya, kan, aku mau jadi Dilan KW,” Fharen bercanda.
           
“Kamu Milea KW nya,” lanjutnya.
           
“Hahaha,” aku tertawa mendengarnya.
           
“Aku kan pindah ke kota ini niatnya mau kaya Dilan, jadi anak motor, terus pacaran sama Milea aku,” Fharen bercerita.
           
“Ternyata Milea nya aku itu kamu,” tunjuknya padaku.
           
“Hahaha,” aku lagi-lagi tertawa.

Sambil berbincang ringan, Fharen menyandarkan kepalanya pada bahu ku. Aku masih merekam kami berdua. Setelah cukup lama duduk dan berbincang Bersama, kami memutuskan untuk menuju kelas Fharen karena bosan dan sekedar ingin jalan-jalan.

Sebelum pergi meninggalkan kelasku, kami berfoto mirror selfie terlebih dahulu, Fharen merangkulku senang, selain foto kami juga mengambil video lagi.

Oh, iya, saat di kelasku tadi Fharen dengan jahilnya menempelkan penghapus papan tulis pada tangan ku, tentu aku kesal, tetapi Fharen segera aku suruh untuk membersihkan tanganku menggunakan handsanitaizer. Dengan menurutnya Fharen membersihkan tanganku secara lembut dan sedikit bercanda tentunya.

Sesampainya kami di kelas Fharen, dengan bangganya Fharen menceritakan kelasnya yang menjadi kelas terbesih minggu itu.
           
“Selamat datang di kelas terbersih, siapa dulu, dong, KM nya?” kata Fharen bangga.

Aku yang mulai memasuki kelas hanya melihat heran, tidak jauh berbeda dangan kelas lainnya menurutku. Sama-sama jelek.
           
“Apaan kelas terbesih temboknya kaya gitu? Engga lengkap organigramnya!” omelku melihat sekeliling.
           
“Ih, tapi menang! Jadi kelas tersebersih, sok!” Fharen tetap bangga diri.
           
“Dih, apaan kelas terbesih kacanya kaya gitu, bagusan kaca di kelas aku! Lebih gede!” lanjutku nyerocos membuat Fharen tertawa.
           
“Hahaha, wah, parah!” ucapnya.

Aku Kembali duduk di bangku guru disusul Fharen duduk didepanku. Sore itu hujan mulai berhenti dan adzan ashar Kembali terdengar. Karena aku harus mengaji dan membaru ayahku mengajar, Fharen hapal aku harus segera pulang.

Sebelum kami pulang lagi-lagi Fharen mengajakku untuk berfoto mirror, tetapi kali ini menggunakan kaca kelas Fharen.
           
“Foto dulu, pake kaca kelas terbesih,” bangganya padaku.
           
“Dih, apa banget,” jawabku.

Meski begitu kami tetap berfoto Bersama dan tak lupa kami juga merekam video hanya untuk kenang-kenangan. Saat sedang merekam Fharen yang merangkulku dengan gemas memainkan pipiku.
           
“Ih lucu banget, gemes,” ucapnya asik mengunyel-ngunyel pipiku.
           
“Ihhhhhhhh,”
           
“Tuh gemoy banget,” ucapnya lagi.

Aku yang semakin kesal buru-buru menghindar dari Fharen. Setelah itu kami pergi ke masjid dan sholat ashar. Setelah kami selesai sholat, Fharen mengantarku pulang.

Singkatnya, malam pun tiba, seperti biasa kami lanjut chattingan.

Kalo ada hal yang kamu ga suka tentang aku

𝐃𝐢𝐬𝐚𝐬𝐭𝐞𝐫 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang