17 ; cilor

42 9 6
                                    

"Teteh, boleh gantian naik ayunanya?" Seorang anak kecil perempuan itu berucap setelah menghampiriku.

Aku yang merasa sangat malu tentu buru buru turun dari ayunan dan menyerahkannya pada anak itu. "Eh, iya boleh boleh."

Fharen mengikutiku yang pergi menuju ujung taman, kebun kecil. Berjalan memutari kebun itu bersama Fharen, Fharen jelas merangkulku.

Aku lupa apa saja yang kami bicarakan saat itu, intinya kami mengibah. Tentu saja siapa lagi jika bukan akang Alfaris, kakak kelas panutan Fharen.

Kang Alfaris merupakan kakak kelasku sewaktu aku kelas 10, beliau kelas 12. Kini beliau sudah menjadi alumni. Beliau juga hampir sama seperti Fharen, sama sama aktivis dakwah, sama sama berjajar pialanya berkat lomba dakwah. Intinya sebelas dua belas dengan Fharen.

Dan yang terpenting, sama sama berjajar mantannya. Fharen bilang kang Alfaris mau menikah dan akan taubat saat beliau nikah nanti. Teruntuk istrinya nanti, semangat :")

"Lebih parah Si Faris, dia belum nikah udah tinggal bareng satu atap, udah peluk pelukan, parahan dia intinya." Fharen berucap, kang Alfaris sudah dianggapnya sahabat.

"Masa? Sama aja, ah, kaya kamu." Jawabku.

"Engga, ih. Aku mah udah niat nanti mau taubat kalo udah beres sekolah, kuliah mau taubat aku mah! Si Faris pas udah nikah mau taubatnya!" Jelasnya.

"Hm, aku mau taubat sekarang, ah." Ucapku.

Kami yang sedang berjalan santai dan Fharen yang sedang merangkulku, tiba tiba menghentikan langkahnya.

"Ih jangan sekarang atuh! Nanti ajaaa." Manjanya membuatku harus melihat wajahnya yang di imut imutkan.

"Dih, ga mau! Maunya sekarang aja, ah." Jawabku.

"Ih kamu mah.. nanti aja atuh, yaa?? Yaa??" Bujuk Fharen.

Aku berpikir, jika umur kami tidak sampai saat hari itu tiba, kami akan meninggal dalam keadaan berdosa?

Taubat itu harus segera di segerakan. Takut takut tidak cukup umur.

Aku menggeleng menginjak sepatu Fharen dari depan dan sedikit merentangkan tangan menahan keseimbangan.

"Mau peluk?" Tanya Fharen membuatku sedikit terkejut.

"Dih, engga! Mau taubat!" Jawabku buru buru menghindar dari Fharen.

"Ihhh, kamu mah..."

Aku pergi menghindar, Fharen lagi lagi mengikutiku. Aku mencari cari tempat duduk di kebun kecil ini, tetapi nihil tidak ada tempat untuk kami duduk selain di depan lapangan.

Namun, Fharen memaksakan duduk di sebuah besi untuk bermain anak anak. "Sini duduk," ucapnya.

Aku menggeleng. "Engga mau," jawabku.

Aku melihat seekor kucing berwarna oranye, tanpa pikir panjang aku menghampirinya yang tidak jauh dariku. Aku mengelusnya sayang.

"Jangan duduk sembarangan, nanti najis buat sholat." Ucap Fharen mewanti wanti diiriku yang tengah berjongkok.

Aku mengangguk, lama kelamaan kucing itu semakin nyaman berada dalam elusan tanganku kucing itu hampir tertidur.

"Yuk sholat," Ajak Fharen membuat si kucing terbangun lagi.

"Yha, jadi bangun kucingnya kasian." Ucapku gemas.

Kucing itu pergi, menyisakan diriku dan Fharen.

Singkatnya kami pergi dari taman itu, mencari sebuah masjid hingga bertanya pada salah satu orang sekitar. Fharen berani bertanya, dia memang malu maluin. Tapi aku bangga.

𝐃𝐢𝐬𝐚𝐬𝐭𝐞𝐫 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang