-Let's go!-
Jam kosong tampaknya minggu ini menjadi agenda yang pasti terjadi di SMA Rajawali. Salah satunya adalah kelas 12 IPS 3, kelas yang seharusnya diisi jam pelajaran diisi oleh tugas membaca materi bab selanjutnya. Pelajaran geografi, pelajaran yang udah sangat disukai Mujidin tapi laki-laki itu tidak berangkat.
Seisi kelas sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Hari ini di kelas 12 IPS 3 ada dua siswa yang terlihat sama-sama sedih. Ada laki-laki berkacamata yang sedang berdiam diri, terlebih hari ini Mujidin tidak bisa berangkat sekolah. Andi duduk di bangku belakang, biasanya ia akan bercerita dengan Mujidin.
Ada juga Nana yang melamun sedari tadi. Tatapan perempuan yang menjadi kiblat fashion sekolah itu terlihat kosong. Nana sudah tak peduli lagi dengan tingkah menyebalkan Miko. Sekarang pikirannya begitu sedih memikirkan jalan keluar agar hubungannya dengan kakaknya bisa baik seperti sedia kala. Situasi saat ini sama sekali tak berpihak padanya.
“Eh, Na… kita dijodohin sama Mama kita kan ya?” Miko kini duduk di meja milik Nana dengan percaya diri.
Santi melihatnya dengan wajah datar, ia justru khawatir dengan perubahan sikap Nana sejak gladi resik rekaman Band Edelweiss. Terlebih lagi baik ia maupun Nana tidak melihat penampilan perdana Band Edelweiss di Café Unforgettable. Apakah itu juga yang menjadi alasan Nana sedih?
“Iya kan? Jangan lupa nanti malem gue bakalan datang ke rumah lo,” Miko terus saja berkicau dan sedetikpun Nana tak mendengarkannya. Perempuan itu benar-benar hanyut dalam pikirannya.
“Mending lo hibur si Andi yang dari tadi kelihatan sedih dan nggak ada semangat hidup,” balas Santi yang mulai muak dengan kicauan Miko yang tak ada habisnya. Santi merasa sangat terganggu dengan kehadiran Miko.
“Nana nggak peduli sama lo,” tekan Santi.
Miko memantul-mantulkan jarinya ke meja. Tatapannya tak lepas dari perempuan yang kini tengah ia kejar setengah mati, “gue cuma memperuntukkan humor gue untuk menghibur Nana seorang… calon makmum gue dan gue yakin Nana sebenarnya peduli sama gue,”
Santi mengambil napas hendak menjawab tapi tangan Nana memberinya aba-aba seolah mengatakan ‘nggak usah ditanggapi biar gue yang selesaikan, manusia nggak tau diri ini!’ Mata Nana melihat ke arah mata Miko, kelas mendadak menjadi sepi. Akankah terjadi letupan atau justru tidak.
Nana mendekat ke arah telinga Miko, “gue tau lo suka sama gue… dan gue nggak bisa menyegah perasaan itu, karena gue yakin lo akan terus mengatakannya setiap hari. Tapi nggak gini kalo lo mau narik perhatian gue… bisa nggak dengan sedikit berkelas. Nggak harus nyari masalah dan nggak buat gue seperti orang yang kesetanan ngatain lo pake bahasa kasar, bisa?”
Miko cukup kaget dengan perkataan Nana, tidak tapi Miko sangat kaget. Ini seperti lampu hijau bahwa Nana sudah menganggap keberadaannya dan terlebih ia tahu bahwa perempuan itu paham ia sangat menyukainya. Laki-laki itu menepuk tangannya sambil geleng-gelang kepala.
“Wuh, akhirnya lo angkat bicara Na,” Miko tersenyum seolah mendapat pernyataan kagum dari Nana.
Seisi kelas hanya melihat dengan raut wajah bingung, bahkan Santi yang ada di dekatnya pun tak mendengarkan apa yang baru saja Nana katakan kepada Miko. Miko menatap ke semua kelas yang menatapnya, ia segera turun dari kursi. Menatap sejenak mata Nana, “oke, mohon bantuannya!”
Niat awal ingin menggertak dan mengancam Miko kini justru ia yang menyesali perkataannya. Nana menggeleng-gelengkan kepalanya, kini semua terasa sangat menjengkelkan. Setelah mengatakan itu Miko berjalan menuju tempat duduk yang berada di dekat Andi.
Bel istirahat berbunyi, Nana langsung pergi ke arah kantin. Di belakangnya ada Santi sangat mencemaskannya. Nana mengambil tempat di mana ia biasanya duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klub Sastra✓
JugendliteraturGilang Ardiansyah, laki-laki yang entah sejak kapan mendapatkan panggilan Mujidin. Panggilan yang kini menggeser nama aslinya. Laki-laki ini menjabat sebagai Ketua Klub Sastra, ia dibantu oleh dua rekannya. Nana dan Ereska. Klub yang tak memiliki p...