44. Rumor

5 3 0
                                    

-Let's go!-

Kejadian hari lalu sungguh melegakan napas Mujidin dan tentunya anggota Klub Sastra yang lain. Berita simpang siur tentang kejadian di kafe hari minggu lalu cepat sekali beredar di tengah-tengah SMA Rajawali. Seperti dugaan Nana mendapat pertanyaan yang bertubi-tubi pun dengan anggota Klub Sastra yang lain.

Seperti saat ini, Mujidin sangat ingin bersantai di kantin dan menikmati hari-hari terakhir di SMA Rajawali. Ada banyak pasang mata yang mengawasi dan ada pertanyaan yang sungguh mengganggunya.

"Jadi emang bener ya?" tanya Miko.

"Nanti ada tanggal mainnya," Mujidin menyeruput es teh yang ia pesan beberapa saat yang lalu.

Mujidin tak begitu memperhatikan kemajuan masalah kedua temannya itu, "Andi sama Rizal, gimana?"

"Aman... mereka udah baikan lagi, mereka juga janji sih kalo Nadine berhak milih yang dia mau."

"Bagus deh... eh tumben akhir-akhir ini lo nggak gangguin Nana? Udah sadar cinta lo ditolak?"

Plak! Sebuah pukulan mendarat di kepala Mujidin. Laki-laki itu mengaduh dan langsung membalas ketika yang melakukannya adalah Miko, "gila ya lo?"

Miko masih mengaduh kesakitan setelah mendapat balasan dari Mujidin. Tentu ia merasa marah jika ada yang meragukan cintanya. Setidaknya saat ini Miko sedang berpikir bagaimana ia mengatakan yang ia tahu. Ia tak membenci Nana justru ia sangat sedih namun saat ini ada yang lebih penting. Hal itu adalah mengurangi rasa sedih Nana, jika ia memang menjadi alasan perempuan itu marah maka ia rela mundur.

"Ada sesuatu yang gue tau tentang Nana dan itu berhubungan sama Klub Sastra," Miko mendadak jadi melankolis.

"Apa?"

Berteman bertahun-tahun dengan Miko membuat Mujidin sedikit paham dengan laki-laki itu. Wajahnya sangat terlihat berbeda saat serius, pasti ada hal penting yang akan ia sampaikan.

"Tapi lo janji nggak bilang ke siapa-siapa dan jangan bahas ini di depan Nana, gue ngomong gini karena lo ketua Klub Sastra... gue nggak bisa nutupin ini lebih lama lagi karena lo tau kab gue anak baik," Miko terkekeh di kata terakhir.

Mujidin mengangguk.

"Nana pernah nyuruh gue buat kasih pelajaran ke Tasya, anggota Klub Sastra yang baru... gue hampir aja kalap sama cinta gue ke Nana, gue hampir nyetujuinya... tapi setelah gue cari tahu siapa Tasya dan gue inget lo Din," wajah Miko sekarang sudah dibuat-buat sedih, "gue nggak akan hancurin klub bestie-ku."

Plak!

"Gue dengerin bener-bener juga," sungut Mujidin.

Miko tertawa cukup keras, "sorry-sorry... ya jadi gitu deh."

Mujidin menghela napas, "bagus, lo nggak ikutin kata-kata dia... gue bakalan maafin kalo lo ngelakuin hal kayak gitu," ia melihat ke arah kantin yang yang didominasi oleh perempuan, "gue ada petuah cinta buat lo... cinta yang patut lo perjuangkan adalah cinta yang juga memperjuangkan lo."

Bagi Mujidin cinta tak seharusnya diperjuangkan seorang diri, cinta adalah tentang dua orang yang saling melengkap, menemani dan saling memberi. Jika hanya satu yang berjuang pasti salah satu akan merasa tak dianggap dan memilih menyerah. Kisah cinta Miko justru terlihat sangat pelik.

"Lo udah nembak Ereska emang?"

Mujidin balas melirik tak suka, "gue balik duluan ke kelas deh," ia sudah berdiri siap beranjak.

"Bentar dulu."

Suasana kantin semakin ramai karena bel istirahat baru saja berdering. Jam kelima hari ini adalah jam kosong hal yang membuat Mujidin dan Miko lebih dulu pergi ke kantin dan mengobrol. Mujidin sangat kesal melihat Nana yang tak merasa bersalah di kelas.

"Pensi? Lo bilang Klub Sastra mau collab sama Klub Teater kan? Gimana?"

Kalimat itu membuat langkah Mujidin terhenti, ia lupa belum menjelaskan secara detail terkait collab yang ia maksud dengan kepada Miko. Satu-satunya topik yang sangat menarik bagi Mujidin, sesuatu yang bisa mengubah cara pandang siswa terhadap Klub Sastra.

Mujidin kembali duduk, "gue mau ajak Klub Teater buat collab di acara pensi... gue tau lo yang jadi ketua di sana,"

"Kharisma gue emang pas jadi ketua, makasih atas pengakuannya... lebih rincinya gimana biar gue bisa bicarain sama anak-anak teater," Miko tersenyum, ia bangkit dari tempat duduknya saat pesanan baksonya sudah jadi, "gue sambil makan ya mitra kerja."

Mujidin menahan diri untuk sabar, "jadi gue ada rencana... Klub Sastra yang buat naskah dan musikalisasi puisi sedangkan Klub Teater yang bersandiwara... masalah properti atau latihan bisa bareng-bareng, lo inget jamannya Bang Dirga kan?"

Miko manggut-manggut sambil terus mengunyah, "nanti gue diskusikan kalo kumpul bareng. Kayaknya menarik,"

Dari arah pelataran kantin ada Rizal, Andi dan Dika yang berjalan ke kantin. Rizal melambaikan tangan.

"Sepertinya emang udah membaik," lirih Mujidin.

Rizal langsung duduk, "yakin lo cuma pesen es the manis? Liat Miko makan bakso,"

"Lagi nggak nafsu makan... btw gue tim mie ayam ya," balas Mujidin.

Dika mengeloyor masuk ke kantin sedangkan Andi masih seperti biasanya. Ia lebih banyak mendengarkan dan manggut-manggut. Matanya terlihat merah, pastilah setelah ditinggal pergi ke kantin ia memutuskan untuk tidur.

"Gue nggak bisa tidur di kelas," Andi merebahkan kepalanya.

Miko menghentikan kunyahannya, "kenapa?" diikuti tatapan ingin tahu Mujidin.

Namun Rizal lebih dulu membuka suaranya, "rumor tentang Nana, tau kan lagi booming banget di sekolah? Gue tadi sempet liat Nana nangis karena ada beberapa siswa yang ngatain dia."

"Jadi rumor itu beneran Din?" tanya Andi.

"Lo tau sekarang Nana di mana?" Miko tampak cemas.

"Tadi dia sempet lari si pas gue mau ke kelas lo... paling ke lapangan belakang?" tebak Rizal.

Lapangan memang menjadi satu-satunya tempat yang jarang sekali didatangi siswa SMA Rajawali. Bukankah setiap sedih kita hanya perlu waktu untuk sendiri? Tempat yang begitu sunyi adalah pilihan yang tepat untuk melarikan diri. Berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Miko, baginya jika seseorang sedih pasti ia selalu berharap ada yang menemani.

Miko beranjak dari tempat duduknya, ia segera membayar pesanannya. Laki-laki itu memesan air mineral kemasan. Tak lupa sebuah pamit, "gue cabut duluan ya, Nana butuh gue."

"Semoga cinta lo nggak bertepuk lagi Mik," dengan suka rela Rizal mendoakan temannya itu dan di-aamiin-kan oleh yang lain.

Kepergian Miko menandakan bahwa laki-laki itu memang tak main-main dengan cintanya. Begitupun dengan Mujidin yang merasa sia-sia telah memberikan petuah cintanya. Miko memang layak mendapatkan kabar baik dari cinta yang selama ini ia perjuangkan.

"Gue mau pesen mie ayam, kalian mau gue pesenin nggak?" tanya Rizal.

"Gue satu," ucap Andi, "gue juga." timpal Mujidin.

Mata Mujidin terlihat menyusuri area kantin, dan betapa terkejutnya ia karena di seberang kantin ada perempuan yang menatapnya secara diam-diam. Perempuan itu membulatkan matanya namun berakhir dengan seulas senyum yang kemudian dibalas oleh Mujidin. 

***
No komennn!

Klub Sastra✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang