41. Collab?

3 2 0
                                    

-Let's go!-

Pertemuan hari lalu masih terbayang sangat jelas di kepala Mujidin, tentang cerita masa lalu Dirga dan Putri. Dua orang yang sama-sama memiliki pengaruh besar di Klub masing-masing justru membuat sebuah jurang di antara keduanya.

"Em, berarti Nana melakukan ini semua karena perintah dari Kakaknya?" Mujidin mencoba menghubungkan satu titik dengan titik yang lainnya.

Sebuah Apel yang ada di atas meja belajarnya kini menjadi fokus penglihatan Mujidin. Pikirannya masih terpaku pada hari lalu. Waktu terus berjalan dan ia seperti bingung dengan drama yang ada di depannya.

"Din," sapa seseorang yang suaranya sangat Mujidin kenal.

"Eh, Ma... masuk aja Ma,"

"Ayo turun, Ereska udah ada di bawah katanya mau persiapan pensi kan?" Teresa tersenyum, perempuan itu kini masuk ke dalam kamar anaknya yang sangat kental dengan nuansa Sastra Eropa.

Setelah memutuskan untuk di rumah terus mestilah Teresa tak heran dengan pernak-pernik kamar Mujidin namun ia tidak bisa untuk tidak kagum. Bahkan terbersit tanya mengapa anaknya sangat menyukai Sastra Eropa padahal sedari kecil anaknya itu sudah diperlihatkan Sastra Jepang.

"Eh, Ereska udah datang Ma?" tanya Mujidin segera menutup buku catatannya.

"Tapi bentar dulu ya, Mama pengin sedikit tanya sama anak Mama. Boleh kan?"

Mujidin mengangguk, mata Teresa menjelalah ke sekitar kamar Mujidin. Matanya berakhir dengan menatap teduh Mujidin yang kini terlihat bingung. Teresa duduk di ujung tempat tidur.

"Boleh Mama tau alasan anak Mama suka Sastra Eropa?"

Kamar yang cukup luas itu didominasi warna gelap. Di salah satu dinding ada foto-foto penulis dan tokoh daratan Eropa, ada kutipan-kutipan menggelitik berbahasa inggris dan Indonesia, ada puisi-puisi karya orisinil Mujidin. Dan lain halnya di depan meja belajar ada foto-foto Mujidin dan teman-temannya, ada jadwal yang begitu padat, ada juga mimpi-mimpi yang ia tulis tangan.

"Gilang suka Sastra Eropa karena merasa cocok di Sastra itu," laki-laki itu kini menatap mamanya bingung, "kenapa Ma?"

Teresa mengangguk, "bukan karena Aira yang pergi ke Jepang kan? Atau karena bosan dengan gaya rumah kita kan?"

Mujidin menggeleng, "Gilang udah nggak ada rasa lagi sama Aira Ma... itu masa lalu dan sekarang Gilang udah bisa adaptasi sama masa lalu. Masa Mama nggak percaya si kalo Gilang suka sama perempuan lain?"

"Asal sukanya sama yang di bawah Mama setuju," Mujidin menaikkan alisnya mendengar perkataan Mamanya, "yaudah ayo turun, kasian Ereska lama nunggu."

Teresa sudah berlalu pergi dengan senyum yang cukup mencurigakan. Laki-laki itu buru-buru mengambil buku catatan dan pulpennya. Ia segera turun seperti yang diminta oleh Teresa.

Mata Mujidin menemukan Ereska tengah memainkan handphone-nya dengan serius entah apa yang tengah ia lihat. Mujidin mendekat tak lupa senyum, meski ia merasa canggung setelah kejadian beberapa hari yang lalu. Jelas saja ia teramat sangat merasa bersalah.

Mujidin mendekat, "di perpustakaan aja ya, kayaknya di sana lebih nyaman,"

Ereska menurut dan langsung duduk di lantai sesampainya di ruang perpustakaan. Matanya menjelajah ke sekitar. Tempat yang nyaman untuk bersantai terlebih setelah melihat beberapa genre yang ada di rak-rak buku. Semua genre yang pastinya Mujidin sukai. Ada genre fantasi, adventure, philosofi dan masih banyak lagi. Ereska tersenyum mendapati rak poem yang sangat banyak.

"Satu-satunya perpustakaan keluarga di rumah, jarang yang ke sini...tapi goodboi lumayan sering," suara Mujidin membuka keadaan yang sunyi.

"Keren-keren, gue boleh pinjem nggak?" Mata Ereska berbinar, "gue pen pinjem karya-karya Pablo Nerudo."

Klub Sastra✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang