12. Pulang Ke Rumah

7 5 0
                                    

-Let's go-

Mujidin kini tengah duduk di pinggir jendela kamarnya. Matanya melihat ke arah halaman rumahnya yang sepi seperti biasanya. Sudah sejam lamanya acara konser di Unforgettable cafe selesai. Tak bisa dipungkiri bahwa Band Edelweiss memang tampil sangat keren, ia yakin setelah rekaman dan mengeluarkan single pertama pasti band itu akan booming.

Potongan-potongan ingatan saat di kafe kembali teringat. Tentang Rizal dan Nadine yang terlihat sangat dekat, juga tentang Nala dan Ereska yang ternyata kakak beradik. Malam ini semesta menghadirkan banyak kejutan tak terduga untuknya. Ia kembali menghela napas dan pandangannya masih sama. Matanya tak pernah lepas dari halaman rumah.

Sebuah mobil berwarna silver memasuki halaman rumah dengan hati-hati. Seorang satpam membukakan gerbang sama halnya dengan laju mobil itu. Hati-hati sekali. Mobil yang sedari kedatangannya diperhatikan Mujidin kini sudah terparkir rapih di depan rumah.

"Jam satu malam," lirih Mujidin.

Kini dua orang yang tak asing keluar dari dalam mobil. Keduanya tampak terlihat lelah dengan perjalanan jauh dari Yogyakarta ke Jakarta. Mujidin tahu bahwa kedua orangtuanya tak pernah memutuskan untuk pulang jika bukan karena hal yang penting.

Mujidin masih mengawasi, pembantu rumah tangga yang sering membantunya kini membantu orang tua Mujidin mengeluarkan koper dan beberapa tas jinjing. Jujur Mujidin sangat rindu keduanya karena sudah tiga bulan tak bertemu tapi ia tak mungkin menemuinya sekarang. Ya, mereka lebih membutuhkan istirahat daripada melepas kangen dengan anak semata wayangnya yang sering merepotkan.

"Baguslah, Mama sama Papa udah pulang. Rumah jadi nggak sepi lagi," Mujidin melepaskan senyum dan memilih untuk menutup jendela kamarnya. Karena Mamanya pasti akan datang ke kamarnya.

Laki-laki itu segera beringsut naik ke ranjang dan menyelimutkan diri sesegera mungkin. Meski sulit ia mencoba memejamkan matanya yang sama sekali tak mengantuk.

Lima menit kemudian, sesuatu yang Mujidin duga terjadi. Mamanya datang ke kamarnya, membuka pintu yang memang tak pernah pemiliknya kunci. Langkahnya mendekati tempat tidur anak semata wayangnya, anak yang sering ia tinggal ke luar kota. Tak lupa ia membawa sebuah tas berisi bingkisan untuk Mujidin.

Teresa tersenyum, sembari mengusap rambutnya, "anak Mama udah semakin besar. Sehat-sehat ya Nak, Mama bakalan sering di rumah... Mama bawa novel-novel detektif kesukaan kamu, pasti besok kamu kaget," perempuan itu mengakhiri perkataannya dan mencium kening Mujidin.

Baru setelah Mamanya pergi dan pintu kembali tertutup. Mata Mujidin kembali terbuka, ia bangun dari pura-pura tidurnya dan berderap mengambil bingkisan yang dibawa oleh mamanya.

"Makasih Ma, walaupun Mujidin udah punya novel ini," Mujidin memandang lima novel yang kini ada di depan matanya. Novel yang beberapa bulan lalu ia minta dari Mamanya. Tapi karena terlalu lama, Mujidin memutuskan untuk membelinya sendiri. Dari hasil tabungan uang jajannya.

Handphone milik Mujidin berbunyi, menandakan sebuah pesan masuk. Mujidin melupakan sejenak pikirannya tentang novel-novel itu. Ia meraih handphone-nya yang ada di nakas. Ia mengerutkan alis demi mendapati pesan dari Ereska.

"Ucapan terima kasih yang ke sembilan," hanya kalimat itu yang mampu Mujidin ucapkan.

Mujidin tak ingin membalasnya. Ia tak menyangka jika Ereska akan sedemikian seringnya mengucapkan terima kasih hanya karena ia mengantar jemput dan pulang untuk melihat konser mini.

Klub Sastra✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang