33. Toko Buku

4 2 0
                                    

-Let's go!-

Mujidin terbangun dari tidur siangnya, tadi pagi ia sudah ke rumah sakit untuk periksa. Hasilnya adalah ia didiagnosa demam dan terlalu banyak pikiran. Mamanya yang mendengar hal itu langsung membeli banyak sekali vitamin dan memberikan rambu-rambu kesehatan kepada Mujidin.

Seperti saat ini, Mujidin yang tak terbiasa tidur siang terpaksa harus tidur siang karena sang Mama mengeceknya selama beberapa jam. Jarum jam menunjukkan pukul 15.40 WIB yang artinya sekolah akan segera bubar dengan bantuan obat, vitamin dan tidur yang cukup Mujidin beranjak dari tempat tidurnya. Sore ini ia berniat pergi ke toko buku milik Dirga. Sudah barang pasti ia akan membicarakan seputar Klub Sastra dan perihal goodboi. Obat dari sakitnya adalah semua pikiran yang membebaninya dapat segera teratasi.

“Jangan sampe ada Mama,” Mujidin mengendap-endap menuju pintu. Ia mengambil sebuah jaket bertuliskan huruf jepang dan segera mengenakannya. Kepalanya memang terasa sangat berat, tapi jika dipaksa akan sedikit lebih ringan.

Baru saja keluar dari pintu Mujidin berhadapan dengan Bik Ratih yang hendak memberikan sebotol madu dan satu piring buah-buahan segar.

“Eh… Mama ke mana Bik?” tanya Mujidin yang sedari tadi tak melihat keberadaan Mamanya.

“Ibu lagi belanja sebentar, Nak Gilang mau ke mana?”

“Bilangin sama Mama ya Bik, Gilang mau beli buku bacaan sebentar… Gilang capek tiduran terus Bik,” Mujidin tersenyum, ia segera mengambil dompet dan kunci motornya.

Mujidin bergegas keluar tanpa balasan Bik Ratih. Ia mempercepat langkahnya agar tak berpapasan dengan Mamanya. Hari ini ia harus bertemu dengan Dirga, karena sekarang hanya dialah yang Mujidin pikir bisa membuat pikirannya sedikit terbuka. Nasib baik dialami Mujidin, beberapa meter menjauh dari rumah ia tak berpapasan dengan Mamanya. Jadilah sekarang ia bisa pergi dengan sedikit tenang.

Sepanjang perjalanan pikiran Mujidin berputar seputar Klub Sastra dan goodboi. Pun ia merindukan dirinya yang dulu sangat suka membaca buku dan produktif membuat puisi, sekarang Mujidin jarang menuliskan pikiran-pikirannya lewat puisi.

“Udah lama gue nggak meluangkan waktu khusus untuk nulis puisi,” bisiknya pada diri sendiri.

Lampu merah pertama menjadi tempat laki-laki itu bercengkrama dengan dirinya sendiri. Menyadari hal itu Mujidin menggeleng-gelengkan kepalanya. Kini ia bingung dengan dirinya sendiri apakah ia harus sakit dulu untuk bisa bercengkrama dengan dirinya sendiri?

Dari arah yang berlawanan, Mujidin menyipitkan matanya. Pupilnya menangkap seorang perempuan yang tak asing. Perempuan itu melaju dengan kecepatan rata-rata menuju arah rumah Mujidin.

“Bukannya itu Ereska? Mau ke mana?” tanyanya heran, terlebih perempuan itu jarang membawa motor terkecuali kumpul Klub Sastra.

Sebuah klakson mobil membuyarkan kebingungan Mujidin. Ternyata lampu sudah berubah menjadi hijau. Mujidin tak mengambil serius apa yang baru saja dilihatnya, ia segera melajukan motornya menembus jalanan kota yang begitu ramai.

Tiga puluh menit kemudian ia sudah sampai di depan toko buku. Toko buku buka seperti hari sebelumnya ia datang. Tak ada pengunjung sejauh mata memandang, di beranda toko ada Dirga dan Nala yang sedang berbincang asik. Kehadiran Mujidin segera diketahui, Dirga melambaikan tangan dan saat itu juga Mujidin segera memarkirkan motornya.

Mujidin mendekat dan segera bersalaman dengan kedua seniornya.

“Eh, tangan lo anget banget… lo sakit?” telisik Dirga.

Nala meninju bahu Mujidin pelan, “lo sakit ngapain ke sini, harusnya kan lo istirahat,”

“Ada yang lebih penting,” Mujidin tersenyum lalu mengambil posisi di kursi yang kosong.

Klub Sastra✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang