16. Cemburu

7 6 2
                                    

-Let's go!-

Sesampainya di sekolah Mujidin segera saja pergi ke mading, sudah menjadi kebiasaannya untuk mengecek poster Klub Sastra. Hanya memastikan apakah terjatuh seperti hari kemarin atau tidak. Dan yang ia dapati poster itu masih setia di sana, terlihat baik-baik saja seperti yang ia harapkan. Mujidin tersenyum singkat, matanya memandang beberapa poster yang ada di mading.

"Tiap pagi sebelum yang lain datang gue pastiin pasti selalu ada lu di lorong mading," suara tak asing kini mengisi kesunyian di depan mading. Perempuan yang sedari kelas 10 menjadi wakil Klub Sastra itu memperlihatkan senyum, "selamat pagi Din."

Seorang perempuan berjalan dengan senyum di wajahnya. Perempuan yang entah kenapa selalu Mujidin temui di pagi hari. Maksudnya tak sengaja ketemu pasalnya mereka memang tak pernah membuat janji untuk bertemu di setiap pagi hari.

"Eh Ereska, gue cuma mastiin poster aja kok... dan tampaknya lu orang kedua yang sering datang pagi... dan juga orang yang paling sering gue temui di depan mading," Mujidin melempar tatapannya ke arah Ereska.

Pagi itu hanya ada keduanya yang sama-sama menatap poster Klub kesayangan mereka. Bagi Mujidin mungkin tak ada hal yang special dari setiap pagi bertemu dengan Ereska, tapi lain halnya dengan perempuan itu. Jauh dari dalam lubuk hatinya ia merasa sangat senang karena bangun paginya tak sia-sia. Di awal paginya Mujidin selalu menjadi orang pertama yang ingin dan selalu ia jumpai di SMA Rajawali.

"Kalo kita lulus ada yang sesayang lu ke Klub Sastra nggak ya?" tanya Ereska mengingat waktu mereka di sekolah akan segera usai.

Mujidin menghela napas. Masalah yang sama selama bertahun-tahun tapi hingga sekarang ia belum menemukan akar dari masalah ini. Ingatannya lalu terbayang tentang percakapan beberapa hari yang lalu bersama Bang Dirga dan Bang Nala. Di satu sisi Ereska juga merasa sedih tidak bisa membantu banyak. Seperti Mujidin ingatannya pun melayang tentang percakapannya dengan Bang Nala. Ia teringat dengan perjuangan kedua orangtuanya yang membangun dan mendirikan Klub Sastra, sekarang nasib Klub itu ada pada masa kepemimpinannya. Perempuan itu menduduk cukup dalam.

Bagaimana jika Klub Sastra dibubarkan? Tanpa sadar keduanya membatin pertanyaan yang sama. Mereka sama-sama menghela napas. Hanya sunyi yang menjadi teman, mereka benar-benar tak rela jika Klub Sastra harus bubar.

"Kita pasti bisa, jangan patah semangat. Kita tim kita cari jalan keluarnya bersama-sama," Mujidin akhirnya memilih kata-kata itu. Sungguh berat jika harus mengingat Klub Sastra, "gue yang jamin kalo Klub Sastra nggak akan bubar."

Ereska mengangguk. Kemudian ia teringat akan sesuatu. Kemarin ia melihat seseorang dan ingin memastikan apakah orang tersebut adalah Mujidin atau bukan. Hanya ingin memastikan kebenaran, meskipun nantinya mungkin ia akan merasa sedikit sakit. Tadi malam ia sudah sempat menanyakannya tapi entah kenapa ia ingin mendengarnya langsung dari Mujidin.

"Gue boleh tanya sesuatu?" Suasana sepi yang masih melingkupi SMA Rajawali sedikit banyak membuat Ereska berani untuk bertanya dan menatap manik mata Mujidin lebih lama.

Mujidin tersenyum, "tanya apa? Bukan pelajaran Geografi kan?"

Perempuan itu menggeleng cepat. Diam-diam ia menarik napas lalu mengembuskannya pelan-pelan saat Mujidin kembali memandang poster di mading. Ia meremas buku paket yang sedari tadi ia pegangi.

"Gue tau lo jago geografi tapi bukan itu juga, ada hal lain," Ereska mencoba tersenyum mengurangi kecanggungan, "yang tadi malem gue tanya."

Laki-laki itu hanya balas mengangguk, "gue mau tanya... jadi kemari gue sama Bang Nala sempet keluar sore dan gue liat lo sama perempuan yang kayanya anak sini. Gue cuma mau konfirmasi, apa orang yang gue liat kemarin itu lo?" tatapan mata Ereska menyelidik, tapi kemudian ia mencoba tak peduli. Ereska tak mau jika Mujidin tau ia menyimpan rasa untuknya. Ia melempar pandangannya ke arah lain.

Klub Sastra✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang