34. Plat Nomor

4 2 0
                                    

-Let's go!-

Ereska sedang duduk manis di beranda rumahnya. Hari ini rasanya sangat pas untuk dihabiskan membaca buku dan menikmati udara pagi. Pertemuan Senin lalu dengan kedua orang tua Mujidin kini ia pahami, bahwa mereka tidak mengada-ngada karena terbukti di foto yang ada di diary Mamanya. Ada kebahagiaan karena ternyata orangtuanya dan Mujidin berteman baik saat di bangku SMA.

Tentang respon Mujidin mengetahui bahwa ia sudah menjenguk sebenarnya tidak ada yang istimewa, laki-laki itu mengatakan maaf dan terima kasih keesokan harinya. Tak lupa pula Mujidin bertanya tentang hubungan Mama Papanya dengan ia. Dan Ereska menjawab sesuai dengan apa yang terjadi.

Tadi malam Ereska mengirimkan alamat rumahnya lewat pesan aplikasi kepada Tante Teresa, ia pun sudah mendapat izin dari Bang Nala tentunya menjelaskan awal mula semua terjadi. Di saat santai seperti itu sebuah kiriman makanan datang. Ereska sudah tahu itu dari siapa, karena Tante Teresa sudah memberitahunya akan mengirimkan rendang ke rumah.

“Atas nama Ereska?”

“Betul, terima kasih ya Pak.”

Nala yang sudah bersiap mempromosikan album Band Edelweiss yang baru saja rilis Rabu kemarin menatap bingung, “dari siapa?”

“Dari Tante Teresa Bang… sarapan dulu yuk Bang, matahari juga baru muncul,” Ereska tersenyum sembari memamerkan kantong kain berisikan kotak makan, “katanya dulu ini resep coba-coba buatan Mama sama Tante Teresa,”

Demi mendengar kata Mama, Nala tak bisa menolak. Ia mengurungkan niatnya untuk sarapan di warung langganannya di kampus. Serindu itu Nala dan Ereska pada Mama Papanya, itu sebabnya mereka menerima dengan baik kehadiran Teresa dan Santio. Teman Mama Papanya yang akan terus mengingatkan keduanya.

“Yaudah ayok… Abang juga tadi sempet bikin nasi,”

Ereska berlari-lari kecil menuju ke arah dapur. Tangannya sigap mengambil mangkuk, lalu memindahkan rendang. Nala pun sama, laki-laki itu mengambil nasi dari alat penanak nasi. Rendang dan nasi hangat memang kombinasi yang pas di pagi hari.

“Em, kayaknya enak ya Bang?”
Ereska mengambil nasi untuknya dan untuk Nala, keduanya menikmati sarapan yang lain dari hari biasanya itu.

“Enak loh ini,” komentar Nala setelah menelan satu suapan.

Ereska mengangguk, “iya enak."

“Tapi lain kali jangan terima kiriman masakan lagi ya, kamu bilang sama Tante Teresa….” Nala menengguk segelas air, “nggak enak kalo ngerepotin."

“Iya Bang, nanti Ereska bilang sama Tante,” Ereska menghentikan sendoknya, “oiya Abang hari ini mau promosi album ya?”

Nala mengiyakan, “rencananya begitu, tapi abis kelas sih… nanti juga promosi di kampus dulu.”

“Uwah Abangnya Ereska keren banget sih, pinter piano, pinter ciptaain lagu, dongeng juga… udah perfect cuma kurang pasangan aja,” goda Ereska.

Abang satu-satunya itu tak pernah terdengar berita dekat dengan perempuan mana pun. Terkadang Ereska merasa bingung, laki-laki yang menurutnya perfect justru memilih untuk tidak memiliki pasangan. Namun ia tak memikirkannya terlalu lama karena toh laki-laki yang ia sukai juga melakukan hal yang sama.

“Abang nggak mau energi Abang habis hanya untuk cinta, ada cita-cita yang lebih penting…inget lirik di lagu milik Afgan,”

“Uwah gimana liriknya Bang?”

“Jodoh pasti bertemu….”

Tawa Ereska mendengar suara milik Nala yang jauh dari kualitas suara vokalis Band Edelweiss. Sekarang ia tahu kenapa Nala tidak direkrut menjadi vokalis, ya karena yang mendengar pasti akan memilih lagu lain setelah mendengar suara Nala. Keduanya melanjutkan sarapannya.

Klub Sastra✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang