-Let's go!-
Hari ini Mujidin tak mengadakan kumpul dengan Klub Sastra. Setidaknya ia akan pergi ke toko buku milik Dirga. Perkataan seniornya hari itu membuatnya tak bisa tidur, mungkin kali ini ia akan membicarakan lagi hal itu. Di samping itu Mujidin ingin menyampaikan pesan Nadine beberapa hari yang lalu.
Sesampainya di depan toko yang sudah mulai ramai, Mujidin menenteng helm-nya. Ia tak sempat menyapa seniornya itu karena Dirga nampak sangat sibuk melayani pembeli. Mujidin mengarahkan arah langkahnya menuju kursi nyaman yang ada di depan toko. Tempat biasanya ia ngobrol dengan seniornya itu. Sembari mengistirahatkan lelahnya ia menunggu Dirga selesai melayani pembeli.
Pembeli yang ada di dalam toko, sedikit demi sedikit keluar dari toko tersebut sembari menenteng buku-buku yang jika dilihat jumlahnya tak sedikit. Ada yang membawa lima buku, hingga sepuluh buku. Diam-diam Mujidin menghitung buku-buku tersebut meski belum tahu hitungannya tepat atau tidak.
Mata Mujidin menatap nama toko buku yang buka sejak dua tahun yang lalu itu. Dirga Book's, nama yang seniornya itu pilih sebagai nama tokonya. Toko yang ia rintis sejak duduk di bangku SMA, saat ia masih menjabat sebagai Ketua Klub Sastra.
Dirga mengurus toko buku seorang diri tak jarang laki-laki itu sering kewalahan, "udah lama di situ?" Dirga mendekat dan kini duduk di samping Mujidin, sekilas matanya menerawang ke jalan raya. Diam-diam laki-laki itu menghela napas dalam-dalam.
"Belum Bang, baru datang. Nggak rekrut karyawan Bang? Keliatannya tadi rame banget, " tanya Mujidin setelah mobil yang membawa banyak buku dari toko seniornya itu pergi.
Dirga melihat jalanan yang ramai seperti biasanya. Polusi mengepul, panas, lengkap sudah. Kini Dirga memilih menyender ke kursi, "tokonya sepi, gue bayar pake apa? Kalo yang tadi itu dari sekolah-sekolah sama rumah baca yang kirim proposal untuk donasi buku."
Mujidin mengangguk, mencoba mengerti. Dirga memberikan sebagian buku di tokonya untuk didonasikan. Kegiatan yang sangat mulia, persis seperti visi Klub Sastra yaitu menyebarkan gemar membaca seluas-luasnya.
Lalu Dirga membuka suaranya lagi, "berbagi ilmu selagi bisa. Oiya tumben ke sini lagi, ada apa?"
"Tentang Klub Sastra Bang." Mujidin terdiam setelah mengatakan hal itu. Mungkin Dirga sudah bosan dengan topik yang selalu saja sama.
Dirga menghela napasnya, "masih belum beres ya? Atau ada masalah lain?"
Samar-samar Mujidin mengangguk sedih. Sekali tarikan napas ia menjelaskan perkataan Nadine bahwa jika tidak ada yang mendaftar Klub Sastra maka Pembina tak segan untuk segera membubarkan Klub Sastra. Karena peminatnya yang begitu sedikit.
"Gue bingung dengan situasi kali ini Bang, maaf Bang gue belum bisa jadi ketua yang baik. Padahal dulu Bang Dirga milih gue, gue belum bisa bawa orang yang jelek-jelekin Klub Sastra," Mujidin teramat menyesal dengan progresnya selama beberapa hari ini, "kayaknya gue nggak bisa tangkap pelakunya."
Dirga menghela napasnya sebentar, "lo harus waspada, karena gue punya dugaan... orang yang deket sama kita berpotensi untuk melakukan itu. Orang yang terlihat mendukung tapi ternyata di belakang membuat pendaftar lari."
Titik-titik masalah belum Mujidin temukan. Sampai saat ini ia masih bingung bagaimana cara menemukan pelaku, tapi setelah mendengar perkataan Dirga ia sedikit membuka jalan pikirannya. Hal itu sama sekali tak terlintas. Tapi siapa?
Mujidin memastikan masih dengan wajah herannya, "musuh dalam selimut?"
"Bisa jadi...." sedikit senyum tercipta dari sana, "lo tinggal buktiin perkataan gue,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Klub Sastra✓
Roman pour AdolescentsGilang Ardiansyah, laki-laki yang entah sejak kapan mendapatkan panggilan Mujidin. Panggilan yang kini menggeser nama aslinya. Laki-laki ini menjabat sebagai Ketua Klub Sastra, ia dibantu oleh dua rekannya. Nana dan Ereska. Klub yang tak memiliki p...