05.Pria Sensitive

1K 36 12
                                    

"Dia celon istrimu, Gus."

Arland yang merasa terpanggil menoleh,"Apa?" Arland mengangkat alisnya bingung. Matanya mengikuti arah telunjuk sang Kiai.

"Gadis itu calon istrimu,"ujar Kiai Husein.

"Saya belum mau menikah.".

Kiai Huesin lantas memukul tulang kering Arland dengan tongkat. Matanya menatap tajam sang Gus.

"Malam nanti kita ke rumahnya, kalian sebaiknya ta'aruf dulu sebelum menikah."

"Bisakah saya memilih pasangan sendiri?"

"Untuk apa? Perempuan itu di nikahi karena nasabnya, hartanya, kecantikannya dan juga agamanya, dan Safiyyah itu mencakup ke empat-empatnya, tidak ada yang lebih baik dan lebih pantas untukmu selain Safiyyah."

"Saya-"

"Gus Arland, jangan mempermalukan nama baik keluargamu. Aku sebagai kakekmu sudah memutuskan yang terbaik untukmu."

Arland terdiam, ia memang pemberontak. Tidak seperti Ameera yang selalu menurut. Sebenarnya, Arland hanya sadar diri. Gadis itu memang terlihat cantik, dia pantas mendapatkan suami yang jauh lebih baik dari Arland. Gus muda itu tersenyum kecut. Baginya, ia bukanlah lelaki yang pantas lagi untuk menikah.

"Lupakanlah gadis itu, ia sudah tiada."

"Saya ada keperluan di luar, saya pamit."

Kiai Husen menghela napasnya kasar. Pria itu berjalan menjauh darinya, matanya hanya bisa menatap punggung sang Gus yang semakin lama semakin hilang dari pandangannya.

"Gus,Gus!"

Suara memanggil dari belakang membuat Arland menoleh dengan tatapan datarnya, alisnya terangkat satu ketika menunggu pria yang berlari ke arahnya sampai. Dia Abdi, Arland belum lupa dengannya.

"Saya di amanahkan menemani Gus."

Arland hanya mampu menghela napas pelan. Sementara Abdi menunggu di luar, Arland mengambil kamera dari dalam rumah.

"Gus, saya yang menyetir ya."

"Tidak."

"Baik Gus," Abdi berujar patuh.

Segera mungkin Arland melajukan mobilnya membelah jalanan, meninggalkan kawasan pesantren yang bisa membuatnya gila dengan cepat.

"Gus hebat bawa mobil, main sat set sat set gitu lo. Ini kalau Kiai sudah mabuk kebayang di bawa Gus. Tapi untung saya ndak mabuk lo Gus, saya malah suka di bawa jalan-jalan. Apalagi dengan Gus, anak-anak iri ini, pasti," Abdi berceloteh panjang

Arland merasa cukup terganggu. Niat hati ingin melepas pikiran, justri ia dipertemukan dengan Abdi. Marah, kesal. Begitulah kira-kira berada di posisi Arland. Setelah cukup jauh menempuh perjalanan, Arland menepikan mobil di salah satu tempat yang cukup ramai dimana banyak penjual makanan dan minuman di pinggir jalan dan juga terdapat taman kota yang terlihat ramai di penuhi pengunjung dari berbagai kalangan. Arland cukup senang berada di keramian. Ia akan menjumpai banyak orang yang kisah hidupnya luar biasa, atau anak-anak yang asik tertawa-tawa. Itu cukup menyenangkan hati Arland.

"Weih,mau makan apa Gus?"

"Panggil saya Aland saja."

"O jangan to Gus. Meskipun Gus lebih muda dari saya ya tetap ndak boleh. Ndak sopan saya. Moh, tetep. Gus Arland," keukeuhnya.

Arland tidak mau ambil pusing. Ia lantas mengambil kameranya dan keluar dari mobil hitam mengkilap itu. Arland membawa dirinya berjalan ke arah mana saja yang ia suka. Arland suka keramaian, tapi tidak suka berbaur. Sedikit berbeda. ya,Arland memang berbeda. Ia lebih suka duduk di tengah keramian agar telinganya penuh suara, matanya memandang tawa orang-orang. Meski begitu, ia tetap merasa sendiri, hatinya telah mati, ia butuh suara lain agar suara Keisari tidak lagi terdengar. Arland bukan membenci. Tidak sama sekali. Namun, setiap mengingat Keisari membuat Arland putus asa.

Rahasia Gus (TAMAT 🕊️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang