23. Arland dan keluarga kecilnya

906 33 0
                                    

Arland melakukan perjalanannya hanya dalam satu hari, setelah akad pria itu banyak berbicara pada Uwa Nun, Uwa Nun banyak menasihati dan menceritakan bagaimana kondisi keluarga Keisari selama ini dan bagaimana perilaku Kiai Husen pada ayahnya Keisari. Arland benar-benar menyesali kepergiannya hari itu, andai saja ia tidak langsung pergi, hal ini tidak mungkin terjadi. Pria itu sudah ikhlas, mengandai-andai hanya membuatnya tidak bisa menerima takdir. Uwa Nun meminta Arland untuk memaafkan diri sendiri sebelum memulai rumah tangganya ini. Uwa Nun juga meminta agar pria itu lebih tabah dan sabar menghadapi sikap Ibu Keisari dan juga Keisari yang akan sulit menerima Arland saat-saat ini. Arland bersyukur Uwa Nun bisa menerimanya dengan ikhlas dan memberikannya wejangan pernikahan.

Pukul dua malam barulah Arland sampai di rumah tujuannya. Ia menghela napasnya pelan sambil mengumpulkan keberaniannya untuk mengetuk pintu rumah Keisari. Hari sudah sangat larut, tapi Arland tidak ingin menunda untuk menemui Keisari.

"Assalamu'alaikum"

Keisari yang tengah tertidur terpaksa membuka matanya, dilihatnya sekeliling sembari berusaha tersadar dari tidurnya. Pikirnya siapa yang datang malam-malam begini. Salam yang sudah lebih dari tiga kali itu membuat Keisar terpaksa menarik jilbab dan memakainya dengan cepat. Ia mengintip dari jendela, matanya melotot ketika melihat bayangan seorang pria dengan kopor di sisinya.

"Siapa?"

"Ini saya, Arland"

"Mau apa kau?"

"Birkan saya masuk."

Dengan ragu wanita itu membuka setengah pintunya, dan begitu terkejutnya ia menemukan Arland yang tersenyum ke arahnya.

"Apa yang kau lakukan?"

"Biarkan saya masuk.".

Plak. Suara tamparan menggema di ruangan temaram yang hanya ada mereka berdua. Arland memegangi pipinya yang perih. Rupanya hadiah di hari pernikahannya adalah sebuah tamparan. Pria itu meringis pelan sambil menyapi pipinya yang merah.

"Biarkan saya masuk dulu."

"Apa yang kau inginkan!"

"Pagi tadi aku bertemu Hanif. Dia sudah menceritakan semuanya."

"Lalu? Itu tidak merubah apapun."

"Setelah bertemu dengan Hanif, aku menemui ibumu. Aku memintamu langsung pada ibumu karena aku tau kau tidak akan menerimaku."

Bergetar mata Keisari menatap netra Arland. Keisari ingat betul bagaimana ibunya membencinya dan putranya. "Apa yang ibu katakan, " ujar Keisari. Meluruh air matanya mengingat bagaimana keadaan orang tuanya kala itu.

"Dia meminta aku menemui Uwa Nun untuk melakukan akad."

Tamparan keras kembali menghantam tulang pipi Arland. Pria itu meringis sambil berusaha menahan tangan Keisari yang kembali memukulnya di dada.

"Lancang sekali kau Arland!"

"Berhenti memukulku."

Usai melampiaskan emosinya Keisari terduduk di kursi ruang tamu dengan lesu. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Air matanya meluruh dengan suara nyaris tercekat. Keisari tidak bisa menerima. Ia sudah berjanji tidak akan menerima Arland untuk menebus kesalahannya pada ayahnya. Rasanya Keisari kembali mengkhianati ayahnya. Senyum pria itu masih ia ingat dengan jelas. Tangisnya yang begitu tersedu-sedu menerima hinaan Kiai Husen tidak bisa Keisari terima.

"Maafkan saya, saya tidak punya cara lain lagi." Ujarnya, sembari bersimpuh di kaki Keisari yang tengah terduduk lesu.

"Pergi Arland. Sampai kapanpun saya tidak akan menerimamu!"

Rahasia Gus (TAMAT 🕊️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang