13. Akhirnya aku punya ayah

928 38 1
                                    

Arland duduk di bangku taman seorang diri. Pria itu menunggu Musa di tempat ini. Ia begitu tidak sabar menemuinya. Hari ini, aktifitas belajar di hentikan karena pesantren mengadakan lomba akhir semester. Kesempatan itu Arland gunakan untuk menemui Musa. Arland cemas dan mulai beranggapan apakah Keisari akan membiarkan Musa berjualan di sini lagi atau tidak. Atau bahkan membawa putranya pergi seperti kemarin. Arland berharap itu tidak terjadi. Ke ruamhnya pun, Arland cukup malu pada wanita itu.

Lama menunggu membuat Arland terpaksa berbaring di atas bangku taman. Ia sangat berharap akan bertemu Musa. Matahari masih menunjukkan pukul 2 siang. Kantuk yang mulai meguasai diri membuat Arland tertidur dengan pulasnya di atas bangku itu.

Drett...Dering telfon berbunyi mengusik tidur siang Arland. Disamping itu, sayup-sayup terdengar suara kebisingan dari orang yang lalu lalang. Mata pria itu membuka. Napasnya ia atur dengan baik sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. Pria itu menguap dengan tangan yang telulur untuk menggaruk perutnya. Otaknya mencoba mencerna agar bisa lebih fokus dan mengalahkan rasa kantuk yang belum usai.

"Esselamu'alaikum,esniyor musun kardesim hahaha?(Assalamu'alaikum,apa kau tengah menguap saudara hahaha?" Ujar Nicholas di ujung sana dengan tawa setelahnya.

"Wa'alaikumusselam, sorun ne?(Wa'alaikumussalam,ada apa?"

Pria itu kemudian terduduk dengan malas,matanya yang masih mengantuk melihat para pedagang bagaikan ayam sakit.

"Ne zaman doneceksin? (kapan kau kembali?)."

"Yakinda(sebentar lagi)."

"Ayah!"

"Ayah!"

Sontak saja, serotonin menghantarkan hormon oksitosin ke seluruh saraf Arland hingga pria itu seketika merangsang kedatangan Musa dengan penuh kasih sayang. Senyumnya mengembang. Matanya berkaca-kaca melihat pria kecil itu berlari ke arahnya. Tidak pernah Arland merasa se-bahagian ini dalam hidupnya.

Arland berlutut, pria itu merentangkan tangannya. "Ini Ayah, kemarilah,"ujarnya hingga ia berhasil memeluk tubuh Musa.

''Ayah, aku sangat mencintaimu."

Di dekap-nya Musa dengan erat. Kehangatan menjalar di setiap nadinya. Menghibur jiwa yang selama ini di rundung kemalangan. Pikirannya setengah tidak percaya. Rasanya keadaan ini begitu membingungkan. Tapi perasaan itu tidak penting sekarang. Nyatanya, Musa putranya.

"Ayah, Ibu mengizinkan aku memanggilmu Ayah. Aku sangat bahagia."

"Ayah?who is dad?(Ayah?siapa Ayah?)"

"Ayah, ada yang menelfon."

Arland lupa bahwa Nicholas masih di sambungan. Ia lantas mematikan sambungan itu. Tidak peduli jika Nicholas akan mengomel nanti. Ia beralih menatap Musa, wajah dengan senyum lebar. "Apa kau mau memaafkan Ayah?"

"Apa aku benar-benar anak ayah?"

Pria itu mengangguk sendu. Di genggamnya tangan Musa dengan lembut. Pria itu menatapnya dengan senyum kecil. Sedangkan Musa masih nampak berpikir.

"Tapi aku tidak mirip denganmu."

"Kita mirip, siapa bilang tidak?"

Tangan hangat Musa meraup wajahnya. Keningnya berkerut melihat wajah Arland dari jarak dekat. "Tidak mirip."

Dengan senyum hangat Arland meraup wajahnya. "Mata ini milikku. Hidung ini juga. Bibir ini saja yang milik ibumu." Ujarnya sembari menunjuk mata, hidung dan bibir Musa.

Rahasia Gus (TAMAT 🕊️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang